beritax.id – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menilai tantangan hukum di era digital semakin kompleks. Dalam konferensi hukum internasional di Universitas Andalas, ia menyoroti pengaruh besar kecerdasan buatan dan teknologi blockchain terhadap dunia hukum. Menurut Yusril, sistem peradilan harus beradaptasi agar mampu menghadapi kasus-kasus yang lahir dari perkembangan teknologi modern.
Ia mencontohkan langkah Mahkamah Agung yang telah menerapkan sistem e-court dan publikasi daring. Namun, menurutnya, transformasi digital tidak cukup tanpa perubahan pola pikir aparat hukum. “Kasus hukum di era digital menuntut pendekatan baru yang adil dan adaptif,” ujarnya.
Yusril juga menyinggung fenomena “no viral, no justice” yang mencerminkan menurunnya kepercayaan publik terhadap sistem hukum nasional.
Tugas Negara: Melindungi, Melayani, dan Mengatur Rakyat
Menanggapi hal itu, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, mengingatkan kembali hakikat tugas utama negara. “Tugas negara itu tiga,” katanya, “melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat.” Ia menilai, digitalisasi hukum harus diarahkan untuk kepentingan rakyat, bukan sekadar efisiensi sistem.
Menurutnya, hukum digital tidak boleh menjauhkan rakyat dari keadilan. “Kalau sistem makin canggih tapi rakyat makin bingung, berarti negara gagal melayani,” tegas Rinto.
Ia menambahkan, hukum harus mempermudah akses keadilan bagi masyarakat, bukan hanya memanjakan birokrasi dan korporasi besar.
Digitalisasi Hukum Harus Tetap Berbasis Keadilan Sosial
Partai X menilai, perkembangan teknologi dalam hukum tidak boleh melunturkan nilai keadilan sosial. Digitalisasi seharusnya memperkuat pelayanan publik, bukan menggantikan interaksi manusia dengan sistem dingin tanpa empati. “Teknologi boleh cerdas, tapi hukum harus tetap berperasaan,” ujar Rinto.
Menurutnya, keadilan substantif hanya bisa dicapai jika sistem digital dikelola dengan hati nurani. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap inovasi hukum berbasis teknologi tetap berakar pada nilai kemanusiaan dan moralitas bangsa. “Hukum tanpa rasa keadilan adalah mesin yang berjalan tanpa arah,” tambahnya.
Kritik Partai X: Fenomena “No Viral, No Justice” Adalah Alarm Sosial
Rinto menilai, fenomena “no viral, no justice” adalah peringatan keras bagi lembaga hukum di Indonesia. “Kalau keadilan baru bergerak setelah viral, berarti sistemnya lumpuh,” ujarnya. Ia menekankan, hukum harus berdiri tegak atas dasar keadilan, bukan tekanan publik atau media sosial.
Partai X menegaskan bahwa hukum yang sehat adalah hukum yang bekerja diam-diam tapi adil, bukan hukum yang sibuk mencari perhatian. Rinto menambahkan, keadilan tidak boleh bergantung pada popularitas kasus. “Keadilan sejati adalah yang hadir bahkan ketika tak ada kamera,” katanya.
Solusi Partai X: Reformasi Hukum Berbasis Kepakaran dan Moralitas
Sesuai dengan prinsip Partai X, negara adalah entitas yang dijalankan secara efektif, efisien, dan transparan demi keadilan rakyat. Pemerintah hanyalah pelaksana mandat rakyat, bukan pemilik kekuasaan. Oleh karena itu, Partai X menawarkan sejumlah solusi agar digitalisasi hukum tetap berpihak kepada rakyat.
Pertama, reformasi hukum berbasis kepakaran, agar kebijakan digital tidak disalahgunakan oleh pihak yang tak memahami implikasi etik dan sosialnya. Kedua, transformasi birokrasi digital transparan, guna menghapus praktik suap, manipulasi data, dan ketimpangan akses keadilan.
Ketiga, musyawarah kenegarawanan nasional, melibatkan akademisi, tokoh agama, dan aparat hukum untuk menata ulang arah reformasi hukum berbasis Pancasila. Keempat, pendidikan moral dan berbasis Pancasila, agar aparat hukum memahami nilai kemanusiaan dalam penggunaan teknologi hukum. Kelima, pemisahan tegas antara negara dan pemerintah, supaya sistem hukum tetap tegak walau kekuasaan berganti.
Hukum Harus Menjadi Pelindung, Bukan Sekadar Prosedur
Rinto menutup pernyataannya dengan pesan tegas bahwa hukum harus kembali ke tujuan dasarnya: melindungi rakyat. “Hukum bukan tentang seberapa banyak pasal dibuat, tapi seberapa banyak rakyat merasa aman,” ujarnya. Ia menilai, kemajuan teknologi hukum tidak boleh membuat rakyat kehilangan ruang untuk mengadu dan mencari keadilan.
“Negara harus memastikan hukum tidak hanya berjalan cepat, tapi juga berjalan benar,” tegasnya. Rinto menambahkan, keadilan di era digital tidak boleh bergantung pada algoritma, melainkan pada keberpihakan moral kepada rakyat. “Selama hukum tidak melindungi yang lemah, maka reformasi digital belum bisa disebut kemajuan,” pungkasnya.



