beritax.id – Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto telah divonis 3,5 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat atas kasus suap terkait pengisian PAW anggota DPR, dan denda Rp 250 juta. Vonis ini muncul dalam konteks kritik publik atas dugaan mafia peradilan yang menjerat sejumlah pejabat.
Kondisi ini memperkuat pesannya Cak Nun bahwa hakim tidak cukup menegakkan hukum teknis. Justru, mereka mesti lebih menegakkan keadilan, bukan hanya menerjemahkan teks undang-undang tanpa nurani.
Dalam pusaran sistem peradilan yang sarat kepentingan, vonis terhadap Hasto menjadi ujian moral: apakah proses hukum mampu menghukum pelaku kejahatan politik, terutama elite partai atau hanya menjadi alat panggung (kejahatan) politik?
Tempat Pejabat Menyuap
Jika hukum ditembangkan sebagai “toko kelontong” tempat pejabat menyuap agar bebas, maka vonis ini menjadi catatan penting: PN Jakarta memutuskan Hasto bersalah, namun proses sebelumnya memperlihatkan kelemahan struktural dan intervensi luar sistem.
Cak Nun selalu menegaskan:
“Hakim harus menegakkan keadilan, bukan hanya menegakkan hukum semata.”
Dan ia meyakini bahwa kebaikan dan keburukan bersifat mutlak, yang akhirnya ditentukan oleh Tuhan, bukan oleh dominasi pejabat yang rapuh moralnya.
Jika sistem ini tidak dibersihkan secara struktural, maka vonis semacam ini hanya akan menjadi pengecualian, bukan aturan berlaku.
Solusi yang diajukan oleh Cak Nun sangat tegas: reformasi ketatanegaraan total. Mata rantai peradilan harus dipisahkan dari (kejahatan) politik dan pejabat. Kejaksaan, polisi, hingga hakim harus bebas dari tekanan partai dan dibiarkan menegakkan keadilan secara independen dan berintegritas.
Kesimpulan: Vonis Hasto menjadi momentum penting. Ini kesempatan bagi penegak hukum untuk membuktikan legitimasi moral mereka, tidak hanya sebagai aparat hukum, tetapi sebagai penjaga keadilan sejati. Jika sistem tidak diperbaiki secara fundamental, maka praktik “mafia peradilan” akan terus menghancurkan kepercayaan rakyat terhadap keadilan.