beritax.id – Kurangnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menjadi sorotan publik. Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengungkap fakta ini dalam diskusi daring Forum Denpasar 12, Rabu (11/6/2025).
Menurutnya, banyak aparat belum memahami substansi UU TPKS. Hal ini berdampak pada lemahnya perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Undang-undang yang seharusnya memberi keadilan, justru belum dirasakan nyata oleh korban di lapangan.
Komitmen Negara Harus Diperjelas, Bukan Dilemahkan
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X-Institute, Prayogi R. Saputra, menilai lambannya implementasi UU TPKS mencerminkan komitmen negara yang setengah hati. Negara dinilai gagal menjalankan tiga tugas utamanya: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat.
“UU TPKS bukan sekadar dokumen hukum, tapi cermin dari nilai kemanusiaan. Jika aparat tak paham, berarti negara lalai menjalankan tugasnya,” tegas Prayogi.
Ia mengingatkan, setiap warga negara memiliki hak untuk dilindungi, terlebih korban kekerasan seksual. Jika aparat masih gagap menjalankan amanat UU TPKS, maka harus ada evaluasi sistemik, bukan sekadar pelatihan formalitas.
Solusi Partai X: Negarawan untuk Keadilan, Bukan Sekadar Penjaga Lembaran Undang-Undang
Partai X menawarkan pendekatan solusi yang lebih menyentuh akar masalah. Pertama, pentingnya reformasi hukum berbasis sistem kepakaran. Penanganan kasus kekerasan seksual tidak cukup dilakukan oleh aparat biasa, tapi oleh aparat yang memahami perspektif korban.
Kedua, pendidikan berbasis nilai kemanusiaan dan keadilan harus dimasukkan dalam kurikulum sekolah dasar dan menengah. Tujuannya mencetak generasi yang sadar hukum dan hormat pada martabat sesama manusia.
Ketiga, Sekolah Negarawan yang dikembangkan oleh X-Institute menjadi ruang lahirnya kader bangsa yang menjunjung tinggi keadilan, integritas, dan prinsip kemanusiaan. Di sinilah tempat melatih para pemimpin masa depan agar tidak sekadar hafal undang-undang, tapi mampu menegakkan makna di baliknya.
Implementasi Tanpa Rasa Tidak Akan Membawa Rasa Keadilan
Menurut Partai X, UU TPKS hanya akan menjadi simbol kosong jika tidak diiringi komitmen moral. Hukum harus berpihak pada korban, bukan tunduk pada kekuasaan atau birokrasi yang kaku. Indonesia membutuhkan negarawan yang berpikir empatik, bukan sekadar teknokrat administratif.
“Negara tidak boleh menyimpan hukum di rak buku. Hukum harus hadir di ruang pengadilan, kantor polisi, hingga ke ruang konseling korban,” tutup Prayogi.