beritax.id – Dalam beberapa bulan terakhir, publik dikejutkan oleh menguatnya wacana dan praktik pengalihan penyelesaian sengketa pers dari mekanisme etik dan independen menuju jalur hukum dan regulasi negara. Perdebatan seputar revisi RUU Penyiaran, rencana penguatan kewenangan lembaga negara dalam mengawasi konten media, hingga kecenderungan pelaporan pidana terhadap karya jurnalistik menunjukkan satu pola yang sama: ruang otonomi pers kian menyempit, sementara kontrol pemerintah menguat.
Hal ini mencerminkan kekhawatiran serius bahwa sengketa pers tidak lagi dipandang sebagai urusan kebebasan berekspresi, melainkan sebagai persoalan ketertiban yang harus dikendalikan negara.
Kasus Terkini: Sengketa Pers Masuk Ranah Hukum
Belakangan, sejumlah laporan jurnalistik yang kritis terhadap pejabat publik justru berujung pada pelaporan pidana atau gugatan hukum, alih-alih diselesaikan melalui Dewan Pers sebagaimana amanat UU Pers. Situasi ini diperparah dengan munculnya pasal-pasal multitafsir dalam rancangan regulasi baru yang berpotensi menjerat kerja jurnalistik.
Alih-alih memperkuat mekanisme etik, negara justru tampak ingin mengambil alih peran wasit.
Dalam pembahasan RUU Penyiaran, terdapat kekhawatiran bahwa negara akan memiliki kewenangan lebih besar untuk menilai, membatasi, bahkan memberi sanksi terhadap isi siaran yang dianggap bermasalah. Hal ini berpotensi tumpang tindih dengan fungsi Dewan Pers dan mengaburkan batas antara pengawasan etis dan kontrol pemerintahan.
Jika sengketa pers dipindahkan ke ranah regulasi negara, independensi media terancam secara struktural.
Pola Lama dengan Wajah Baru
Upaya menggeser sengketa pers ini bukanlah fenomena baru, melainkan pengulangan pola lama: kritik dipandang sebagai gangguan stabilitas, dan kontrol dianggap solusi. Bedanya, kali ini dibungkus dengan narasi modern seperti “penertiban ruang digital”, “penjagaan etika”, atau “stabilitas nasional”.
Narasi tersebut terdengar rasional, namun berisiko menormalisasi pembatasan kebebasan pers.
Dampak bagi Kebebasan Berekspresi
Jika dibiarkan, pergeseran ini akan menciptakan efek gentar (chilling effect) di kalangan jurnalis. Media akan cenderung bermain aman, menghindari liputan mendalam, dan menjauh dari investigasi terhadap kekuasaan. Akibatnya, publik kehilangan sumber informasi kritis, sementara kekuasaan berjalan dengan pengawasan yang semakin lemah.
Sengketa Pers Bukan Urusan Kekuasaan
Dalam negara demokratis, sengketa pers adalah bagian dari dinamika kebebasan berekspresi, bukan ancaman keamanan. UU Pers secara tegas menempatkan Dewan Pers sebagai lembaga independen untuk menyelesaikan persoalan jurnalistik, justru untuk mencegah intervensi kekuasaan. Menggeser mekanisme ini berarti mundur dari prinsip demokrasi yang telah disepakati bersama.
Solusi: Mengembalikan Sengketa Pers ke Jalurnya
Untuk mencegah penguatan kontrol negara atas pers, langkah-langkah berikut perlu ditegaskan:
- Menegakkan UU Pers secara konsisten. Sengketa jurnalistik harus diselesaikan melalui Dewan Pers, bukan kriminalisasi.
- Menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Penyiaran. Regulasi tidak boleh menggerus independensi media.
- Memperkuat mekanisme etik dan koreksi publik. Akuntabilitas pers dijaga lewat transparansi, bukan represi.
- Menjamin kebebasan pers sebagai pilar demokrasi. Media yang bebas adalah mitra negara, bukan musuhnya.
Upaya menggeser sengketa pers ke dalam kendali negara bukan hanya persoalan media, tetapi persoalan masa depan kebebasan sipil di Indonesia. Ketika pemerintah semakin kuat mengontrol narasi, kepercayaan publik justru akan melemah.
Demokrasi tidak tumbuh dari ketakutan terhadap kritik, melainkan dari keberanian menerima kebenaran.



