Target Penerimaan dan Tekanan Administratif
Pernyataan pimpinan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bahwa baru sebagian kecil Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang mencapai target setoran penuh patut dibaca secara kritis. Fakta ini bukan sekadar soal kinerja, melainkan juga membuka ruang refleksi mengenai bagaimana target penerimaan pajak ditetapkan dan dijalankan. Lebih jauh, kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan tentang dampaknya terhadap kepastian hukum dan perlindungan hak Wajib Pajak.
Dalam praktik administrasi perpajakan, target setoran KPP umumnya diturunkan secara top-down dengan pendekatan kuantitatif. Akibatnya, ukuran keberhasilan menjadi sangat sederhana: tercapai atau tidak tercapai. Namun demikian, ketika target angka tidak diimbangi dengan parameter kualitas penegakan hukum, tekanan pencapaian penerimaan berpotensi mendorong praktik yang menyimpang dari asas keadilan pajak.
Pemeriksaan Agresif dan Persepsi Ketidakadilan
Dalam realitasnya, tidak sedikit Wajib Pajak merasakan pengawasan dan pemeriksaan pajak dilakukan secara semakin agresif. Bahkan, dalam beberapa kasus, langkah tersebut tampak semata-mata ditujukan untuk mengejar target penerimaan. Koreksi pajak yang dipaksakan, penafsiran norma yang terlalu luas, serta penerbitan surat ketetapan pajak yang minim analisis substansi transaksi kerap menjadi keluhan.
Oleh karena itu, muncul persepsi bahwa negara bersikap “dzolim” terhadap Wajib Pajak. Persepsi ini bukan lahir karena kewajiban pajak itu sendiri, melainkan karena cara pemungutannya yang dinilai tidak adil dan tidak proporsional.
Lonjakan Sengketa Pajak sebagai Dampak Langsung
Selanjutnya, tekanan target setoran juga berdampak langsung pada meningkatnya jumlah sengketa pajak. Wajib Pajak yang merasa dirugikan akhirnya terdorong menempuh jalur keberatan, banding, bahkan gugatan di Pengadilan Pajak. Pada titik ini, sistem keberatan dan peradilan pajak menjadi tempat pelampiasan dari kebijakan penerimaan yang terlalu menekan.
Alih-alih meningkatkan penerimaan negara secara sehat dan berkelanjutan, pendekatan tersebut justru memindahkan beban kegagalan target kepada Wajib Pajak dan lembaga peradilan pajak. Dengan kata lain, angka penerimaan mungkin dikejar, tetapi biaya sosial dan hukum ikut meningkat.
Ancaman terhadap Kepatuhan Sukarela
Lebih mengkhawatirkan lagi, pola semacam ini berisiko menggerus kepatuhan sukarela (voluntary compliance). Wajib Pajak yang merasa diperlakukan secara koersif cenderung memandang pajak sebagai beban yang harus dihindari. Padahal, sistem perpajakan modern justru bertumpu pada kepercayaan, transparansi, dan kepastian hukum.
Jika kepercayaan tersebut runtuh, maka kepatuhan jangka panjang akan semakin sulit dibangun. Pada akhirnya, negara justru akan menghadapi resistensi yang lebih besar dalam menghimpun penerimaan.
Menata Ulang Orientasi Target Pajak
Oleh sebab itu, evaluasi target setoran KPP sudah semestinya tidak hanya berbasis angka. Sebaliknya, penilaian kinerja perlu memasukkan indikator kualitas penegakan hukum, tingkat sengketa pajak, serta perlindungan hak Wajib Pajak. Penerimaan negara yang berkelanjutan tidak lahir dari tekanan administratif, melainkan dari tata kelola pajak yang adil dan profesional.
Dengan demikian, jika negara benar-benar ingin memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan, keadilan dalam proses pemungutan harus ditempatkan sejajar dengan target penerimaan. Tanpa keseimbangan tersebut, target setoran pajak justru berpotensi melahirkan ketidakadilan baru dalam sistem perpajakan nasional.



