beritax.id – Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengesahkan Surat Keputusan (SK) kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan Ketua Umum Muhammad Mardiono pada Rabu (1/10/2025). Supratman menegaskan bahwa saat menandatangani SK tersebut tidak ada satu pun surat keberatan yang masuk ke Kementerian Hukum. Menurutnya, pelayanan cepat dalam pengesahan kepengurusan partai adalah bentuk transformasi birokrasi. Namun, keputusan itu langsung menuai reaksi dari kubu lain yang merasa dirugikan, salah satunya kubu Agus Suparmanto yang menuding keputusan tersebut cacat hukum. Ketua Majelis Pertimbangan PPP Muhammad Romahurmuziy bahkan menyebut ada syarat penting yang tidak dipenuhi, termasuk ketiadaan surat keterangan tidak adanya konflik internal. Persoalan dualisme kepemimpinan ini pun semakin memperlihatkan betapa mudahnya kepentingan kekuasaan berjalan, sementara kepentingan rakyat kerap tertinggal.
Kritik Partai X
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R Saputra, menilai persoalan dualisme partai hanyalah drama kekuasaan. Menurutnya, pengesahan SK yang cepat menandakan betapa lancarnya urusan kekuasaan jika menyangkut kepentingan penguasa. Sementara itu, rakyat sebagai pemilik kedaulatan bangsa justru dibiarkan terlantar. “Kekuasaan bisa lancar, tapi rakyat tetap terlantar. Padahal tugas negara adalah melindungi, melayani, dan mengatur rakyat,” tegas Prayogi. Ia menilai bahwa energi kekuasaan terlalu banyak terkuras untuk konflik internal partai daripada merumuskan solusi atas kesulitan rakyat.
Prinsip Partai X
Negara memiliki tiga unsur yaitu wilayah, rakyat, dan pemerintah, sehingga rakyat adalah pemilik kedaulatan. Pemerintah hanyalah sebagian kecil rakyat yang diberi mandat, bukan pemilik negara. Karena itu, kepentingan rakyat seharusnya ditempatkan di atas segalanya, bukan justru dikalahkan oleh urusan kepengurusan partai. Bagi Partai X, pejabat dan pengurus partai hanyalah pelayan rakyat, bukan penguasa yang mengatur rakyat seenaknya.
Solusi Partai X
Sebagai jalan keluar, Partai X menawarkan solusi agar kekuasaan tidak berhenti pada perebutan kursi. Pertama, pemisahan tegas antara negara dan pemerintah sehingga konflik kepartaian tidak mengganggu jalannya negara. Kedua, pemaknaan ulang Pancasila sebagai pedoman operasional, bukan sekadar slogan, agar kepemimpinan partai tunduk pada nilai moral. Ketiga, reformasi hukum berbasis kepakaran agar pengesahan SK partai tidak dipengaruhi kepentingan pragmatis. Keempat, transformasi birokrasi digital untuk memastikan setiap keputusan terekam transparan, adil, dan dapat diawasi publik. Kelima, musyawarah kenegarawanan lintas pilar agar kembali diarahkan pada visi kebangsaan, bukan sekadar perebutan kekuasaan.
Partai X menegaskan bahwa rakyat tidak boleh menjadi korban dari drama kepengurusan partai. Negara harus memastikan setiap keputusan memberi manfaat bagi masyarakat. Jika kekuasaan bisa disahkan dalam hitungan jam, maka kesejahteraan rakyat seharusnya juga bisa dipercepat. Namun faktanya, yang terjadi justru sebaliknya. “Selama kekuasaan hanya mengurus kursi, rakyat akan terus terlantar,” tutup Prayogi.