beritax.id – Berdasarkan Pasal 69 ayat (1) Undang‑Undang Pengadilan Pajak (UU PP), alat bukti dalam persidangan pajak meliputi surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan para saksi, keterangan para pihak, dan pengetahuan hakim. Namun kenyataannya, banyak majelis pengadilan pajak hanya mengandalkan tiga alat bukti: surat atau tulisan, keterangan para pihak, dan pengetahuan hakim. Akibatnya, keterangan ahli yang seharusnya memiliki hirarki lebih tinggi terabaikan. Padahal dapat menjelaskan aspek teknis perpajakan seperti transfer pricing, perhitungan bunga pajak, forensik dokumen digital, hingga prosedur pemeriksaan perpajakan.
Fenomena ini menimbulkan dua masalah pokok. Pertama, putusan menjadi rapuh karena hanya bersandar pada interpretasi hakim sendiri tanpa landasan keahlian yang memadai. Sehingga berisiko pada kualitas pertimbangan hukum dalam putusan Pengadilan Pajak sehingga mengakibatkan sengketa berlarut hingga upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Kedua, Wajib Pajak dirugikan dari segi waktu karena harus menunggu putusan PK demi mencari keadilan dan kepastian hukum.
Solusi nyata diperlukan demi Peradilan Pajak yang berkeadilan. Pertama, Mahkamah Agung dan Pengadilan Pajak harus merevisi pedoman teknis tata cara pemeriksaan perkara saat persidangan, mewajibkan Majelis Hakim memanggil minimal satu ahli yang kredibel saat perkara melibatkan isu kompleks serta pelatihan rutin bagi hakim pajak tentang kaidah penilaian bukti dan manajemen pemeriksaan ahli harus digelar untuk meningkatkan profesionalisme. Dengan langkah tersebut, putusan pengadilan pajak memiliki pondasi atau dasar yang kuat untuk hakim pajak merumuskan pertimbangan hukum dalam putusannya.
📩 Untuk wawancara media atau penjelasan, hubungi:
Rey & Co. Jakarta Tax & Legal Services
✉️ [email protected]
📞 +62 811-1300-0088
🌐 https://www.reyandco.co.id/
Penulis: Afriza Nurhidayah Mufthi, S.H.