beritax.id – Suasana penuh keprihatinan sekaligus harapan menyelimuti Konferensi Pers Nasional yang digelar Sekolah Negarawan di Jakarta, pada Senin (1/9). Bertajuk “Saatnya Indonesia Membentuk Dewan Negara”, forum ini menghadirkan beragam tokoh lintas bidang, agama, intelektual, budaya, hingga generasi muda, yang bersatu menyuarakan gagasan tentang pentingnya sebuah lembaga moral dan konstitusional baru di atas pemerintah: Dewan Negara.
Konferensi ini dibuka oleh Adil Amrullah, adik kandung Cak Nun sekaligus penggagas Maiyah Padhangbulan Jombang. Dengan suara bergetar, ia mengingatkan kembali pesan sang kakak yang telah lama menggaung: “Negara ini kehilangan jiwa. Kita membicarakan hukum tanpa keadilan, pembangunan tanpa kemanusiaan, dan berjalan tanpa ruh.” Menurut Adil, Dewan Negara diperlukan bukan untuk melawan kekuasaan, melainkan untuk mengembalikan ruh kolektif bangsa agar tidak larut dalam kekacauan struktural.
Dari kalangan agama, Dr. Rosidin, M.Pd.I mengangkat analogi sederhana namun tajam. “Seperti imam shalat yang batal wudhu harus mundur, begitu pula pemimpin negeri. Jika sudah kehilangan amanah, seharusnya mundur, bukan bertahan dengan kekuasaan,” tegasnya. Ia menilai kerusuhan bukan lahir dari rakyat yang haus darah, melainkan dari pemimpin yang kehilangan tanggung jawab spiritualnya. Karena itu, menurutnya, Dewan Negara harus hadir sebagai pengingat akhlak dan ruh kepemimpinan.
Sembilan Tahapan Kerja Dewan Negara
Sementara itu, Prayogi Saputra, S.IP., MM., PhD (Cand.), Direktur Sekolah Negarawan, menegaskan bahwa perubahan struktural ketatanegaraan tak bisa lagi ditunda. Ia memaparkan sembilan tahapan kerja Dewan Negara, mulai dari Musyawarah Kenegarawanan Nasional, amandemen kelima UUD 1945, hingga transformasi birokrasi digital. “Ini bukan retorika panggung, tetapi peta jalan konseptual dan operasional yang sudah kami susun bersama. Rakyat harus kembali berdaulat sepenuhnya,” ujarnya.
Suara rakyat pembayar pajak datang dari Rinto Setiyawan, A.Md.T, Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI). Dengan lantang ia mengkritik kebijakan fiskal pemerintah, terutama restu kenaikan gaji DPR RI di tengah kesulitan ekonomi rakyat. “Kami muak dibungkam oleh sistem yang tak mendengarkan kami, padahal 82 persen APBN dibiayai oleh rakyat. Dewan Negara harus lahir, agar rakyat punya wakil moral di atas kekuasaan,” katanya.
Dari dunia budaya, Cak Majid menyoroti hilangnya ruh kebangsaan lewat bahasa perwayangan. Ia menyebut, “Jika raja tak lagi adil, maka Semar turun tangan. Tapi hari ini istana hanya dipenuhi Petruk berjubah raja.” Menurutnya, budaya bukan sekadar batik dan tari, melainkan adab dan gotong royong. Dewan Negara, katanya, adalah rumah baru bagi nilai-nilai luhur yang kini tercerabut dari lembaga formal.
Penutup yang menyentuh hati datang dari Azizatul Nur Imamah, perwakilan generasi Z. Ia mengaku lebih mengenal influencer ketimbang wakil rakyat, namun menegaskan generasinya tidak mau tinggal diam. “Kami tidak akan menjadi penonton sejarah. Kami ingin pemimpin yang jujur, bukan viral. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?” serunya penuh semangat.
Rangkaian suara lintas generasi dan bidang itu berpadu dalam satu kesimpulan: bangsa ini membutuhkan ruh baru, bukan rezim baru. Dewan Negara diharapkan menjadi wadah persatuan, penjaga akal sehat, nurani, keamanan, dan budaya bangsa, sebuah jalan transformatif menuju Indonesia yang adil, bermartabat, dan benar-benar berdaulat.