beritax.id – Perkembangan pemerintahan Indonesia belakangan ini menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan kekuasaan semakin ingin dilanggengkan, sementara mekanisme koreksi rakyat justru dipersempit. Wacana perubahan sistem pemilihan, penguatan posisi pejabat melalui regulasi, hingga pembatasan ruang kritik publik muncul berulang dengan dalih stabilitas dan efisiensi.
Di balik argumen teknokratis tersebut, tersimpan persoalan mendasar tentang arah demokrasi dan siapa yang sesungguhnya diuntungkan.
Stabilitas yang Mengorbankan Pergantian
Pergantian kekuasaan adalah jantung demokrasi. Namun belakangan, stabilitas sering dipahami sebagai alasan untuk meminimalkan perubahan dan mengamankan posisi. Kontestasi dianggap berisiko, perbedaan dipersepsikan sebagai gangguan, dan kritik dinilai menghambat pembangunan.
Ketika stabilitas dipaksakan dengan mengorbankan sirkulasi kekuasaan, masa depan rakyat justru menjadi taruhan.
Rakyat Hadir Saat Pemilu, Absen Setelahnya
Pemilu tetap digelar sebagai prosedur, tetapi keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan strategis semakin terbatas. Setelah mandat diberikan, ruang untuk mengawasi, mengoreksi, dan memengaruhi kebijakan terasa sempit. Kebijakan besar kerap diputuskan tanpa dialog publik yang bermakna, sementara rakyat diminta menerima hasilnya demi kepentingan yang lebih luas.
Demokrasi semacam ini menjadikan rakyat sebagai legitimasi awal, bukan sebagai subjek berdaulat yang berkelanjutan.
Risiko Jangka Panjang bagi Generasi Mendatang
Pelanggengan kekuasaan tidak hanya berdampak pada hari ini, tetapi juga menentukan arah masa depan. Ketika kebijakan lahir dari lingkar kekuasaan yang tertutup, risiko salah arah semakin besar: ketimpangan melebar, krisis sosial-ekologis berulang, dan kepercayaan publik runtuh. Generasi mendatang mewarisi sistem yang rapuh, bukan institusi yang kuat dan adil.
Negara mungkin tampak stabil di permukaan, tetapi rapuh di fondasi.
Solusi: Menegakkan Batas Kekuasaan, Mengamankan Masa Depan Rakyat
Untuk memastikan masa depan rakyat tidak terus dipertaruhkan, pembatasan kekuasaan harus ditegakkan secara konsisten, bukan dinegosiasikan demi kenyamanan pejabat. Mekanisme pemilihan dan pergantian kepemimpinan perlu dijaga sebagai sarana utama evaluasi rakyat. Ruang kritik dan partisipasi publik harus diperluas agar kebijakan lahir dari dialog, bukan dominasi. Transparansi dan akuntabilitas pejabat wajib diperkuat agar mandat tidak berubah menjadi hak istimewa. Pendidikan politik juga penting agar rakyat sadar bahwa demokrasi harus terus dikawal, bukan hanya dirayakan saat pemilu.
Kekuasaan yang dilanggengkan mungkin memberi rasa aman bagi penguasa, tetapi hanya kekuasaan yang dibatasi yang menjamin masa depan rakyat. Demokrasi hidup bukan dari stabilitas semu, melainkan dari keberanian membatasi diri demi kepentingan bersama.



