Oleh: Risma Farah, Sekretaris Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI)
beritax.id – Di tengah hiruk pikuk persoalan fiskal Indonesia, dua figur mencuat dengan wajah yang kontras. Di satu sisi ada Rinto Setiyawan, Ketua Umum, yang lantang menyuarakan kritik dan membela hak rakyat dari jeratan pajak yang menindas. Di sisi lain ada Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan yang dikenal sebagai teknokrat paling berpengaruh, bahkan disebut “Menteri Keuangan sepanjang zaman” karena keberlanjutan karirnya lintas rezim.
Kini muncul pertanyaan di ruang publik, yaitu siapakah yang sejatinya berjiwa nasionalis–patriotis, dan siapa yang justru dianggap pengkhianat bangsa?
Sri Mulyani sering dipuji di forum internasional sebagai teknokrat sukses dari Indonesia. Latar pendidikannya di luar negeri, kedekatannya dengan Bank Dunia dan IMF. Serta kebijakan pro-liberalisasi membuat Sri Mulyani disanjung oleh lembaga keuangan global.
Namun, bagi banyak rakyat kecil, Sri Mulyani justru terlihat sebagai pelaksana kebijakan yang memberatkan hidup masyarakat. Dia menaikkan pajak dengan alasan keadilan, menambah utang atas nama pembangunan, dan mengonsolidasikan aset negara di bawah Kementerian Keuangan yang sering dipandang merugikan kepentingan rakyat.
Istilah Mafia Berkeley
Menurut newmandala.org, istilah “Mafia Berkeley” kerap disematkan kepada Sri Mulyani. Julukan ini merujuk pada gaya ekonomi pro-pasar dan pro-investor asing yang dijalankan Sri Mulyani. Sehingga dianggap membuat Indonesia semakin bergantung pada sistem kapitalisme global.
Pandangan bahwa Sri Mulyani tidak berpihak kepada rakyat juga diperkuat dengan sebutan “SPG alias Sales Promotion Girl IMF”. Julukan “Sales IMF” terhadap Menteri Keuangan ini dilontarkan oleh Kolonel Infanteri (Purn) Sri Radjasa Chandra dalam Podcast Forum Keadilan TV.
Sebaliknya, Rinto Setiyawan tampil sebagai suara rakyat. Ia mengingatkan publik bahwa APBN adalah hak rakyat, bukan milik pemerintah. Ia menolak pernyataan Sri Mulyani yang menyamakan pajak dengan zakat. Menurut Rinto, zakat sebagai kewajiban syar’i punya karakter berbeda dari sistem pajak yang rumit dan penuh regulasi, serta sering digunakan sebagai alat pemerasan.
Pajak Bukan Alat Memeras Rakyat!
Rinto juga mengkritik peradilan pajak yang dianggap masih berada di bawah bayang-bayang Kementerian Keuangan, dan memperjuangkan agar rakyat tidak menghadapi “jalan buntu” ketika melawan ketidakadilan fiskal.
“Pajak tanpa undang-undang adalah perampokan,” tegas Rinto.
Rinto yang juga jamaah Cak Nun ini memegang prinsip bahwa negara harus memenuhi kewajiban terhadap rakyat dulu baru negara boleh menarik pajak dari rakyat. Seperti yang dituliskannya pada artikel berjudul “Pajak Disamakan dengan Zakat, Cak Nun: Pengkhianatan Moral pada Rakyat”.
“APBN itu hak rakyat, bukan milik pemerintah. Pemerintah hanya pelayan, bukan pemilik negara. Jangan lagi rakyat dijebak dengan retorika moral sementara sistem pajak terus menyulitkan mereka,” tulis Rinto
Selain itu, dalam tulisan yang sama, Cak Nun menegaskan bahwa Tuhan tidak akan menagih apa pun kepada siapa pun sebelum Dia sendiri berjasa kepada orang yang ditagih itu. Itu moralnya. Begitu juga moral antara rakyat dan pemerintah harusnya seperti itu.
Inilah garis pemisahnya, di mana Sri Mulyani membela APBN, sedangkan Rinto membela rakyat. Sri Mulyani menjaga stabilitas fiskal di mata investor dan kreditor global. Sedangkan Rinto memastikan rakyat tidak dijadikan sapi perah demi menambal defisit anggaran.
Jika nasionalisme diukur dari keberpihakan terhadap rakyat, jelas Rinto lebih pantas disebut patriot sejati. Sementara Sri Mulyani, dengan kebijakan yang dituding membuat rakyat terbebani pajak dan Indonesia semakin terjerat utang, oleh sebagian kalangan akan terus dipandang sebagai pengkhianat bangsa.