beritax.id – Ketika banjir bandang, longsor, dan krisis sosial berulang melanda berbagai daerah, harapan publik sederhana: negara hadir cepat, fokus, dan berpihak pada keselamatan rakyat. Namun yang sering terlihat justru paradoks. Di saat warga berjibaku menyelamatkan diri, agenda tetap berjalan rapat konsolidasi, manuver kekuasaan, dan kalkulasi masa jabatan tak pernah benar-benar berhenti. Bagi rakyat terdampak, negara terasa jauh. Bagi pejabat, waktu terus dihitung.
Respons Darurat yang Tertinggal oleh Agenda Kekuasaan
Penanganan bencana kerap tersendat oleh koordinasi yang lambat dan prosedur yang berbelit. Bantuan datang, tetapi tidak jarang terlambat atau tidak merata. Sementara itu, diskursus publik di tingkat pejabat justru ramai oleh isu-isu kekuasaan: perubahan aturan, stabilitas, dan perpanjangan pengaruh. Seolah ada dua dunia yang berjalan paralel derita rakyat dan kenyamanan penguasa. Ketika prioritas tidak sejalan, korban kembali menanggung beban.
Keselamatan Rakyat sebagai Formalitas
Dalam banyak kasus, keselamatan warga diperlakukan sebagai kewajiban administratif, bukan panggilan moral. Kunjungan pejabat dan pernyataan empatik menjadi rutinitas, tetapi pembenahan akar masalah kerusakan lingkungan, tata ruang yang salah, dan kebijakan yang abai tidak kunjung tuntas. Akibatnya, bencana yang sama terulang, dengan korban yang sama-sama rakyat. Rakyat tenggelam bukan hanya oleh air, tetapi oleh kelalaian yang berulang.
Legitimasi yang Terkikis
Ketika pejabat lebih sibuk menghitung masa jabatan ketimbang menyelamatkan nyawa, kepercayaan publik terkikis. Negara mungkin tetap berjalan secara administratif, tetapi kehilangan legitimasi moral. Dalam jangka panjang, jarak ini berbahaya: rakyat merasa ditinggalkan, sementara kekuasaan merasa aman. Demokrasi yang sehat menuntut pemimpin hadir di saat krisis, bukan bersembunyi di balik kalender.
Solusi: Mengutamakan Nyawa, Menghentikan di Atas Bencana
Untuk mengakhiri pola ini, negara harus menempatkan keselamatan rakyat sebagai prioritas mutlak, di atas agenda kekuasaan apa pun. Penanganan bencana perlu dipimpin dengan komando jelas, anggaran darurat yang responsif, dan koordinasi lintas lembaga yang efektif. Evaluasi kebijakan lingkungan dan tata ruang harus dilakukan secara tegas agar pencegahan menjadi fokus utama. Aktivitas yang tidak mendesak seharusnya diredam saat krisis, demi memastikan seluruh sumber daya negara bergerak untuk rakyat. Transparansi dan pelibatan warga terdampak dalam pemulihan juga penting agar kebijakan tidak kembali melenceng dari kebutuhan nyata.
Rakyat tidak meminta keajaiban mereka meminta kehadiran. Ketika rakyat tenggelam, tugas pemimpin bukan menghitung masa jabatan, melainkan menyelamatkan masa depan.



