beritax.id – Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar mengkritik keras putusan MK yang memisahkan jadwal Pemilu nasional dan Pilkada mulai tahun 2029. Menurut Patrialis, keputusan itu melampaui kewenangan MK sebagai lembaga yudikatif.
MK memutuskan bahwa pemungutan suara untuk DPR, DPD, Presiden, dan Wakil Presiden dilakukan serentak. Lalu, dua tahun kemudian barulah digelar Pilkada dan pemilihan anggota DPRD. Patrialis menyebut hal itu bertentangan dengan Pasal 22E dan Pasal 18 UUD 1945.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi III DPR RI, Patrialis menegaskan bahwa MK tidak memiliki kewenangan menyusun jadwal Pemilu. Penetapan waktu dan desain teknis Pemilu adalah kewenangan eksekutif dan legislatif, bukan yudikatif.
Ia menilai MK justru mempermainkan konstitusi, bukan menjaganya. “MK seharusnya menjadi penjaga kemurnian UUD 1945, bukan pembuat interpretasi teknis yang menyimpang dari norma dasar,” tegas Patrialis.
Partai X: MK Tak Bisa Jadi Komite Teknis, Konstitusi Bukan Materi Workshop!
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menyatakan keprihatinan mendalam atas langkah MK yang terlalu jauh mengatur teknis penyelenggaraan Pemilu. “Kalau MK sudah jadi panitia teknis pemilu, siapa lagi yang jaga konstitusi?” ujar Rinto.
Ia menegaskan bahwa tugas pemerintah, termasuk MK, adalah melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat dengan keadilan konstitusional. Ketika MK bermain dalam ranah eksekutif, maka batas pemisahan kekuasaan menjadi kabur.
Partai X menilai pemerintah harus menjalankan kewenangan berdasarkan prinsip efektivitas dan transparansi. Kewenangan MK adalah menguji undang-undang terhadap konstitusi, bukan mendesain sistem Pemilu.
Jika Mahkamah Konstitusi bertindak di luar mandatnya, maka rakyat kehilangan benteng terakhir perlindungan hak konstitusional. Kepercayaan publik pun akan semakin runtuh terhadap lembaga yang seharusnya berdiri netral dan teguh pada dasar negara.
Solusi Partai X: Perkuat Independensi Konstitusi, Tegaskan Batas Kewenangan
Partai X menawarkan solusi agar konstitusi tidak dijadikan ajang eksperimen kekuasaan teknokratis. Pertama, revisi UU MK agar kewenangan Mahkamah ditegaskan secara limitatif dan tidak multitafsir.
Kedua, bentuk dewan etik konstitusi independen yang memantau pelanggaran peran yudisial MK. Ketiga, setiap perubahan jadwal Pemilu harus melibatkan partisipasi publik dan disahkan lewat undang-undang, bukan putusan Mahkamah.
Keempat, dorong mekanisme penafsiran konstitusi berbasis kolektif ilmu tata negara, bukan hanya pendapat internal hakim MK. Kelima melalui Sekolah Negarawan harusnya menanamkan nilai-nilai pancasila untuk berpikir dan bertindak.
Partai X mengingatkan bahwa konstitusi adalah fondasi demokrasi, bukan bahan eksperimen untuk menyenangkan pejabat tertentu. Jika MK dibiarkan melampaui batasnya, maka sistem ketatanegaraan akan berubah tanpa legitimasi rakyat.
Butuh penjaga konstitusi, bukan pelatih teknis pemilu. Karena ketika semua lembaga bicara teknis, siapa yang menjaga nilai dan keadilan dasar bagi rakyat?