Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Kita hidup di negeri yang setiap lima tahun menggelar pesta demokrasi besar-besaran kampanye, debat, baliho, dan janji-janji yang tak pernah sederhana. Tapi setelah itu, sering kali kita lupa satu hal paling mendasar presiden bukanlah raja, melainkan karyawan rakyat.
Dalam demokrasi sejati, rakyatlah pemilik perusahaan bernama Republik Indonesia. Presiden, betapapun gagah simbol negaranya, hanyalah manajer kontrak yang digaji untuk bekerja, bukan memerintah.
Sayangnya, selama puluhan tahun, mentalitas kolonial dan feodal masih menempel di benak bangsa ini: bahwa pemimpin harus disembah, dikultuskan, dan dianggap sumber kebenaran.
Padahal kalau mengikuti logika sederhana Cak Nun, “kalau yang gaji rakyat, ya rakyat yang jadi bos.”
Cak Nun: Presiden Bukan Majikan, Tapi Buruh Lima Tahun
Budayawan Emha Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun sudah lama menyuarakan hal ini dengan jernih.
Dalam sebuah forum, beliau berkata:
“Sampai sekarang kalau saya bilang, ‘hei, saya tidak bisa dipanggil presiden, saya yang berhak memanggil presiden, karena aku rakyat, aku yang bayar.’”
Pernyataan itu disambut tepuk tangan dan tawa, tapi sesungguhnya mengandung kesadaran politik yang dalam.
Cak Nun melanjutkan:
“Itu bukan soal kesombongan, lo katanya rakyat, rakyat kan yang megang kedaulatan, katanya demokrasi. Lo presiden kan outsourcing, buruh lima tahun, buruh lima tahun kok manggil-manggil bos.”
Analogi ini menampar kesadaran kolektif bangsa presiden hanyalah karyawan kontrak yang bekerja atas dasar mandat, bukan kehendak pribadi. Rakyatlah pemegang saham tunggal republik ini. Dan seperti semua perusahaan yang sehat, karyawan wajib mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada pemiliknya.
Dari Feodalisme ke Profesionalisme
Indonesia sering bangga disebut negara demokrasi, tapi masih bermental kerajaan. Istana masih dianggap “tanah suci”, presiden masih diperlakukan layaknya raja, dan rakyat masih merasa kecil untuk bersuara.
Padahal, demokrasi bukan soal siapa yang duduk di singgasana, melainkan siapa yang memegang kendali moral dan arah kehidupan berbangsa.
Dalam negara yang sehat, jabatan bukanlah tahta, tapi amanah profesional. Seorang presiden seharusnya punya Key Performance Indicators (KPI) yang jelas yaitu menyejahterakan rakyat, menegakkan keadilan, memastikan rasa aman, menjaga kedaulatan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Jika gagal, ya wajar diberhentikan, dikritik, bahkan diganti. Sama seperti karyawan lain yang tak memenuhi target kerja.
Rakyat: Pemilik, Bukan Penonton
Cak Nun mengingatkan bahwa rakyat bukan sekadar penonton politik, tapi pemilik negara.Selama ini, rakyat dididik untuk memilih lalu diam, memberi mandat lalu menyerah. Padahal, mandat bukan berarti menyerahkan segalanya. Mandat adalah kepercayaan bersyarat.
Rakyat berhak menegur, menilai, bahkan memanggil presiden karena mereka adalah majikan moral dalam sistem demokrasi. Pemerintah yang alergi terhadap kritik adalah pemerintah yang lupa siapa pemberinya gaji.
Di sinilah urgensi kesadaran baru itu bahwa kekuasaan adalah profesi, bukan privilese. Dan rakyat bukan bawahan, melainkan pemegang kendali tertinggi dari kontrak sosial bernama republik.
Manajemen Negara: Antara Mintzberg, Marx, dan Cak Nun
Konsep “Presiden adalah Karyawan Rakyat” sejatinya adalah sintesis antara teori manajemen modern dan etika sosial. Dalam pandangan Henry Mintzberg dan Henri Fayol, organisasi ideal adalah yang berorientasi pada stakeholder dalam konteks negara, stakeholder tertinggi adalah rakyat.
Sementara dari sisi sosialisme Karl Marx, negara tidak boleh menjadi alat penindas satu kelas atas kelas lainnya. Negara adalah instrumen pelayanan bagi masyarakat.
Cak Nun memadukan dua paradigma itu dalam bahasa yang sangat Nusantara yaitu negara bukan tempat berkuasa, melainkan tempat ngawula melayani. Presiden bukan pemimpin yang minta dilayani, tapi pelayan tertinggi yang bekerja untuk rakyat tanpa pamrih.
Penutup: Dari “Yang Dipuja” ke “Yang Bekerja”
Negara akan menjadi sehat ketika kita berani mengganti kata “penguasa” menjadi “pekerja rakyat.”
Presiden akan dihormati bukan karena jabatan, tapi karena kinerjanya. Rakyat akan bangga bukan karena dijanjikan, tapi karena dilayani.
Cak Nun telah mengingatkan arah itu bahwa demokrasi bukan panggung kekuasaan, tapi panggilan pengabdian. Dan karena itu, siapapun yang terpilih, harus sadar ia bukan Tuhan kecil di istana, melainkan karyawan rakyat yang digaji untuk bekerja.
Catatan Penulis:
Tulisan ini adalah refleksi atas gagasan dan kritik moral Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) tentang relasi kekuasaan yang seharusnya: bahwa negara sejati berdiri bukan di atas ketakutan rakyat terhadap pemimpin, melainkan atas kesetiaan pemimpin dalam melayani rakyat.



