beritax.id – Di banyak wilayah Sumatra, bencana datang bukan hanya karena hujan turun lebih deras, tetapi karena kebijakan turun lebih keliru. Saat perusahaan terus diberi ruang untuk memperluas lahan, membuka hutan, dan mengoperasikan tambang di wilayah rawan, masyarakat justru dibiarkan menghadapi risiko sendirian. Realitas itu tergambar jelas setiap kali banjir bandang atau longsor meluluhlantakkan desa perusahaan dijaga, hutan dibuka, rakyat ditinggalkan.
Di kawasan hulu Tapanuli dan sekitarnya, hutan yang dulunya menjadi penyangga alami kini digantikan jalan tambang, pipa air proyek energi, dan lahan-lahan konsesi.
Setiap pembukaan lahan membawa konsekuensi:
- resapan air hilang,
- struktur tanah melemah,
- sungai kehilangan penopang,
- dan risiko bencana meningkat berkali lipat.
Namun yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa sebagian besar penduduk setempat tidak pernah menikmati keuntungan dari “kemajuan” itu. Bagi mereka, investasi hanya berarti suara alat berat di bukit bukan peningkatan kesejahteraan.
Pemerintah Daerah Lebih Sibuk Membela, Bukan Mengawasi
Alih-alih mengakui kerusakan lingkungan sebagai penyebab utama bencana, pejabat daerah justru membela perusahaan dengan menyalahkan cuaca dan fenomena alam.
Narasi penyangkalan itu menjadi tameng yang menutupi fakta bahwa:
- proyek energi mengubah bentang alam,
- perusahaan membuka hutan secara masif,
- dan izin terus diberikan tanpa evaluasi serius.
Ketika bencana terjadi, aparat bekerja keras menyelamatkan warga, tetapi proses pengawasan yang seharusnya mencegah bencana justru mandek karena kekuasaan perlindungan terhadap korporasi.
Rakyat Menanggung Risiko yang Tidak Pernah Mereka Pilih
Sementara perusahaan mendapat izin, perlindungan hukum, dan akses infrastruktur, yang didapat rakyat adalah:
- banjir lumpur yang membawa batang pohon dari hulu,
- rumah yang hanyut bersama arus,
- desa yang terisolasi berhari-hari,
- dan suara sirene ambulans yang datang terlambat.
Mereka dipaksa menanggung risiko dari kebijakan yang tidak pernah mereka ikut putuskan.
Hutan dibuka tanpa izin mereka; bencana datang menimpa mereka.
Rinto Setiyawan: “Negara Tidak Boleh Berdiri di Sisi yang Salah”
Menanggapi situasi ini, Anggota Majelis Tinggi Partai X Rinto Setiyawan menekankan kembali prinsip dasar negara:
“Tugas negara ada tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Jika izin perusahaan dijaga tapi keselamatan warga tidak, berarti negara berdiri di sisi yang salah.”
Ia juga menambahkan:
“Rakyat tidak boleh menjadi korban dari kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir. Pemerintah harus kembali pada fungsi utamanya: melindungi kehidupan, bukan melindungi izin.”
Rinto menyerukan agar negara segera memperbaiki arah kebijakan sebelum bencana semakin besar dan kepercayaan publik semakin hilang.
Solusi: Hentikan Pembiaran, Mulai Penyelamatan
Agar tragedi ekologis tidak terus menjadi siklus tahunan, Partai X menawarkan rangkaian kebijakan konkret:
- Evaluasi menyeluruh seluruh izin perusahaan di kawasan hulu DAS.
Izin yang merusak lingkungan harus ditinjau ulang, dibekukan, atau dicabut. - Moratorium pembukaan hutan untuk proyek industri.
Hutan lindung dan area rawan longsor harus ditetapkan sebagai kawasan non-negosiasi. - Penegakan hukum terhadap perusahaan yang menyebabkan kerusakan.
Termasuk audit independen dan denda berat bagi pelanggaran lingkungan. - Transparansi publik atas izin, AMDAL, dan aliran dana terkait proyek besar.
Masyarakat berhak mengetahui siapa yang mengambil keputusan dan apa risikonya. - Rehabilitasi ekosistem berbasis restorasi ilmiah, bukan program simbolis.
Penanaman pohon harus berbasis jenis asli, pemetaan kontur, dan rencana jangka panjang. - Sistem peringatan dan respons bencana yang tidak tergantung keputusan.
Peringatan ilmiah harus otomatis memicu tanggap darurat.
Dalam narasi pembangunan nasional, sering kali hutan dianggap sekadar ruang kosong dan warga dianggap angka statistik. Namun bencana yang terjadi di Sumatra membuktikan: keputusan yang salah di hulu menghasilkan duka di hilir.
Selama perusahaan lebih dilindungi daripada rakyat, negara kehilangan arah moralnya. Saatnya kembali pada prinsip utama pembangunan boleh dikejar, tetapi nyawa tidak boleh dikorbankan.



