beritax.id – Kebijakan perpanjangan izin tambang yang berjalan semakin mudah dan nyaris otomatis kembali memantik kegelisahan publik. Di tengah kerusakan lingkungan, konflik lahan, dan penderitaan masyarakat sekitar tambang, negara justru memberi karpet merah bagi korporasi untuk melanjutkan eksploitasi. Proses yang minim evaluasi ini menimbulkan pertanyaan besar: untuk siapa kebijakan sumber daya alam sebenarnya dibuat?
Dalam beberapa waktu terakhir, publik menyoroti kebijakan perpanjangan izin usaha pertambangan yang tidak disertai audit lingkungan dan sosial secara transparan. Di berbagai daerah, masyarakat terdampak masih bergulat dengan banjir, longsor, pencemaran air, dan hilangnya mata pencaharian namun izin tetap diperpanjang.
Alih-alih menjadi momentum koreksi, perpanjangan izin justru memperlihatkan keberpihakan negara pada kepentingan modal besar.
Otomatisasi Izin, Matinya Evaluasi
Perpanjangan izin yang dilakukan secara administratif tanpa penilaian menyeluruh membuka ruang impunitas. Perusahaan dengan rekam jejak pelanggaran tetap mendapat hak eksploitasi, sementara masyarakat harus menanggung dampaknya. Evaluasi yang seharusnya menjadi alat pengendalian berubah menjadi formalitas.
Ketika izin berjalan otomatis, akuntabilitas justru berhenti.
Oligarki dan Negara yang Terlalu Akrab
Kebijakan ini memperkuat dugaan bahwa relasi antara negara dan oligarki semakin erat. Kepentingan investasi ditempatkan di atas keselamatan rakyat dan keberlanjutan lingkungan. Negara terlihat sigap melayani korporasi, tetapi lambat merespons jeritan warga terdampak tambang.
Dalam situasi ini, rakyat tidak lagi diposisikan sebagai pemilik kedaulatan, melainkan sebagai korban kebijakan.
Tanggapan Prayogi R. Saputra: Rakyat Adalah Raja
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menegaskan bahwa praktik perpanjangan izin tambang otomatis adalah pengingkaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat.
“Rakyat adalah pemilik kedaulatan negara, sehingga rakyat adalah raja. Pejabat atau pemerintah bukanlah pemegang kekuasaan, mereka adalah pelayan rakyat tTKI, Tenaga Kerja Indonesia, yang digaji oleh rakyat. Jika pelayan justru melayani oligarki, maka negara sedang dibajak,” tegas Prayogi.
Ia menambahkan bahwa sumber daya alam bukan milik segelintir pejabat, melainkan hak kolektif rakyat.
Risiko Jangka Panjang: Kerusakan Permanen dan Ketidakadilan
Jika praktik ini terus berlanjut, Indonesia berisiko menghadapi kerusakan lingkungan permanen dan konflik sosial berkepanjangan. Ketimpangan akan semakin melebar, sementara kepercayaan publik terhadap negara kian runtuh.
Negara mungkin mendapatkan penerimaan jangka pendek, tetapi kehilangan legitimasi jangka panjang.
Solusi: Izin Harus Tunduk pada Kedaulatan Rakyat
Untuk memutus mata rantai dominasi oligarki, langkah-langkah berikut perlu segera ditempuh:
- Hentikan perpanjangan izin tambang otomatis
Setiap izin harus melalui evaluasi lingkungan dan sosial yang ketat. - Lakukan audit terbuka terhadap seluruh izin tambang aktif
Libatkan masyarakat dan lembaga independen. - Cabut izin perusahaan dengan rekam jejak pelanggaran
Keberlanjutan tidak boleh ditawar. - Pastikan persetujuan masyarakat terdampak menjadi syarat utama
Bukan sekadar formalitas administratif. - Tegaskan kembali peran negara sebagai pelayan rakyat
Bukan fasilitator kepentingan oligarki.
Perpanjangan izin tambang tanpa koreksi hanya akan memperkuat cengkeraman oligarki atas negara. Dalam republik, raja sesungguhnya adalah rakyat, bukan korporasi pemegang konsesi.
Jika pemerintah lupa posisinya sebagai pelayan, maka kebijakan tambang akan terus menjadi simbol ketidakadilan izin berjalan, rakyat dikorbankan.



