beritax.id – Anggota Dewan Pers Maha Eka Swasta menyatakan jumlah pengaduan masyarakat terhadap media terus meningkat. Pernyataan ini disampaikan dalam kegiatan Pra-Uji Kompetensi Wartawan (UKW) oleh Perum LKBN ANTARA secara daring.
Pada Juni 2025, Dewan Pers mencatat 199 pengaduan, jumlah tertinggi sepanjang sejarah. Mekos, sapaan akrabnya, menyebut lonjakan itu bisa disebabkan wartawan tak memahami Kode Etik Jurnalistik (KEJ) atau meningkatnya literasi publik.
Partai X: Demokrasi Tanpa Arah, Bukan Pers yang Bebas
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menilai peningkatan aduan bukan karena kebebasan pers membaik, melainkan karena demokrasi kian pincang. Pemerintah gagal membangun sistem pers yang sehat, independen, dan berkeadaban.
Menurutnya, lonjakan pengaduan justru mencerminkan ketidakmampuan mengatur sistem informasi yang adil dan bertanggung jawab.
“Ini bukan kabar baik tentang demokrasi. Ini alarm bahwa negara membiarkan kekacauan informasi,” ujar Rinto.
Berdasarkan prinsip Partai X, negara harus menjamin kemerdekaan pers yang tidak tunduk pada pemilik modal, partai politik, atau kepentingan penguasa. Pers harus merdeka, namun juga taat pada etika dan akuntabilitas publik.
Rinto menegaskan, pemerintah wajib hadir bukan untuk membatasi kebebasan pers, melainkan untuk membangun ekosistem jurnalistik yang profesional dan berpihak pada kebenaran.
Solusi Partai X: Literasi, Etika, dan Perbaikan Struktur
Partai X menawarkan solusi melalui tiga pendekatan. Pertama, pendidikan literasi media untuk seluruh lapisan masyarakat agar bisa membedakan informasi palsu dan fakta.
Kedua, reformasi total industri pers agar tidak dikuasai konglomerasi yang mengaburkan kebenaran. Ketiga, perkuat pelatihan dan sertifikasi wartawan lewat model Sekolah Negarawan.
Negara juga perlu membentuk Dewan Media Independen berbasis komunitas untuk mendampingi Dewan Pers. Lembaga ini akan menjadi pengawas berbasis publik dan mendorong etika jurnalisme berbasis rakyat.
Demokrasi Tanpa Pers Merdeka adalah Tirani
Partai X menegaskan, demokrasi yang sehat tidak lahir dari sensor atau aduan semata, tapi dari pertarungan gagasan yang terbuka dan adil.
Jika media hanya menjadi corong penguasa atau alat propaganda, maka demokrasi Indonesia akan runtuh dari dalam. Negara tak boleh membiarkan kekosongan arah dan etika dalam industri pers.
Sudah saatnya pers dibebaskan dari cengkeraman penguasa dan diberdayakan oleh rakyat. Demi demokrasi sejati yang melindungi, melayani, dan mengatur secara adil.