Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) kembali menjadi sorotan publik. Sejumlah importir menilai bahwa penetapan kode HS oleh Bea Cukai sering dilakukan secara tergesa-gesa tanpa mempertimbangkan aspek teknis barang secara menyeluruh. Akibatnya, banyak kasus menunjukkan klasifikasi ditentukan hanya berdasarkan fungsi akhir produk, bukan dari karakteristik teknisnya. Kondisi ini membuat importir terkena tarif dan beban pajak yang lebih tinggi dari seharusnya.
Situasi tersebut menimbulkan sejumlah masalah baru. Tidak sedikit importir yang akhirnya terjebak dalam sengketa administratif yang memakan waktu, biaya, dan tenaga. Lebih dari itu, ketidakpastian hukum juga meningkat di kalangan pelaku usaha, sehingga menurunkan kepercayaan terhadap sistem kepabeanan nasional.
Selain itu, para pengimpor menilai keputusan klasifikasi kerap terlihat serampangan. Kurangnya bukti uji teknis, minimnya konsultasi dengan pihak terkait, serta perubahan alasan klasifikasi tanpa penjelasan yang transparan memperburuk keadaan. Dampaknya bukan hanya terhadap keuangan perusahaan, tetapi juga reputasi bisnis dan stabilitas rantai pasok.
Untuk mengatasi persoalan ini, para pengamat perdagangan mengusulkan beberapa solusi praktis.
Pertama, DJBC perlu memperkuat pedoman teknis klasifikasi barang dengan merujuk pada KUMHS dan Explanatory Notes, serta menyiapkan checklist evaluasi yang terbuka.
Kedua, perlu dibentuk panel teknis independen atau menjalin kerja sama dengan laboratorium serta asosiasi industri agar verifikasi sifat dan fungsi barang lebih akurat.
Ketiga, DJBC disarankan mempercepat penerapan binding ruling agar importir mendapat kepastian sebelum penetapan kode HS dilakukan.
Keempat, publikasi alasan klasifikasi perlu ditingkatkan, dan petugas harus dilatih agar standar penilaiannya lebih konsisten di seluruh wilayah kerja.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan sengketa dapat berkurang, kepastian hukum meningkat, dan kepercayaan pelaku usaha terhadap sistem kepabeanan dapat pulih secara bertahap.



