beritax.id – Pencalonan Dr. Triyono Martanto, S.E., Ak., S.H., M.M., M.Hum., C.A. sebagai Calon Hakim Agung (CHA) dari jalur Khusus Pajak kembali menuai polemik serius yang mengusik nurani publik dan prinsip supremasi hukum. Pasalnya, berdasarkan dokumen rekomendasi yang diajukan oleh Dr. Alessandro Rey kepada Komisi Yudisial RI. Ditemukan sejumlah pelanggaran etis dan dugaan manipulasi hukum yang berpotensi mencederai proses seleksi hakim tertinggi di negeri ini.
1. Jalan Pintas Calon Hakim Agung
Fakta pertama yang mengemuka adalah upaya CHA Triyono mengajukan diri melalui jalur non-karier, padahal yang bersangkutan adalah Hakim aktif di Pengadilan Pajak sejak 20 Maret 2015. Dengan strategi ini, yang bersangkutan mencoba “menghindari jeratan” Pasal 7 huruf a angka 6 UU Mahkamah Agung yang mensyaratkan pengalaman minimal 20 tahun sebagai Hakim. Termasuk 3 tahun sebagai Hakim Tinggi. Berdasarkan dokumen resmi dari Set-PP Kemenkeu. Masa kerja Triyono sebagai Hakim baru mencapai 10 tahun 2 bulan, jauh dari batas minimal yang ditentukan.
Manipulasi status ini dapat dikualifikasikan sebagai bentuk penyalahgunaan status dan penyesatan publik. Serta bertentangan dengan Butir 2.1 ayat (1) KEPPH yang mewajibkan Hakim untuk berlaku jujur dan menghindari segala bentuk perbuatan tercela.
2. Laporan Kekayaan Fantastis Tanpa Penjelasan Rasional
Masalah berikutnya muncul dari LHKPN per 31 Desember 2024 yang mencatat total kekayaan Triyono sebesar Rp54.779.331.450. Dalam uji kelayakan oleh Komisi III DPR RI, yang bersangkutan tidak dapat memberikan penjelasan rinci mengenai asal-usul kekayaan tersebut. Bahkan mengakui adanya hubungan dengan Wajib Pajak sewaktu menjabat sebagai pejabat di DJP sebelum menjadi Hakim. Hal ini memperkuat kekhawatiran publik atas potensi konflik kepentingan dan ketidakpatuhan terhadap prinsip integritas publik.
3. Dugaan Plagiarisme dalam Makalah Akademik
Dalam tahapan fit and proper test, CHA Triyono diduga melakukan plagiarisme dalam makalah akademiknya. Salah satu paragraf dalam makalah “Eksistensi dan Independensi Pengadilan Pajak dalam Sistem Peradilan di Indonesia” diduga identik dengan artikel yang telah dipublikasikan oleh penulis lain di jurnal ilmiah. Perbuatan ini jika terbukti, selain melanggar hak cipta sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, juga merupakan pelanggaran integritas moral yang berat sebagaimana diatur dalam Butir 3 dan 5 KEPPH.
4. Pelanggaran Hukum Acara Pengadilan Pajak
Dugaan pelanggaran prosedural juga terlihat dalam perkara PT. Mitra Abadi Pratama, di mana CHA Triyono tidak membacakan seluruh isi putusan dalam sidang terbuka sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 83 dan 84 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Selain itu, terdapat dugaan penghilangan kutipan dari Surat Edaran DJP yang substansial, demi membangun narasi putusan yang tidak utuh dan berpotensi menyesatkan logika hukum.
5. Kinerja yang Tidak Profesional
Dalam perkara 013758.99/2020/PP, CHA Triyono menyatakan putusan baru pada Desember 2022, padahal gugatan telah diajukan pada November 2020. Ini berarti proses pengambilan putusan memakan waktu lebih dari dua tahun, bertentangan dengan Pasal 81 ayat (2) UU Pengadilan Pajak yang menetapkan batas waktu 6 bulan. Pelanggaran ini menandakan ketidakmampuan dalam menjalankan fungsi yudisial secara efektif dan efisien.
KY harus menyatakan dengan tegas bahwa pelanggaran terhadap Pasal 7 huruf a angka 6 UU MA merupakan cacat substantif yang tidak dapat dikompromikan. Calon yang tidak memenuhi syarat formil:
- Harus dihentikan proses seleksinya secara langsung;
- Nama tidak diajukan ke DPR RI dalam daftar calon;
- Pemberian rekomendasi kepada MA dan Presiden dihentikan.
Menjaga marwah konstitusi dan tidak menjadikan syarat formil hanya sebagai formalitas.
Ditulis Oleh: Fhilipo