beritax.id – Mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto menyebut pelepasan kawasan hutan 1,6 juta hektare bertujuan memberi kepastian hukum. Menurut Hadi, pelepasan tersebut merupakan bagian murni dari proses tata ruang akibat pemekaran daerah.
Ia menegaskan bahwa kebijakan itu bukan pemberian izin konsesi bagi korporasi besar. Kebijakan itu dilakukan agar ribuan warga tidak lagi dianggap tinggal secara ilegal di kawasan hutan.
Hadi menyampaikan bahwa ketentuan tersebut tertuang dalam dua SK Menteri Kehutanan pada 2014. Kedua SK menjelaskan bahwa perubahan status hutan menjadi nonhutan dilakukan untuk penataan ruang daerah.
Ia menambahkan bahwa kebijakan itu mengakomodasi usulan resmi gubernur, bupati, wali kota, serta aspirasi masyarakat. Pemerintah daerah meminta kepastian ruang agar pembangunan berjalan sesuai rencana.
Lampiran SK menunjukkan bahwa wilayah yang dilepas diperuntukkan bagi pemukiman rakyat. Fasilitas publik seperti sekolah, rumah ibadah, dan rumah sakit juga berada dalam area tersebut.
Hadi menegaskan bahwa pelepasan dilakukan untuk lahan garapan masyarakat yang sudah dikelola turun-temurun. Ia menolak klaim bahwa area tersebut diserahkan kepada korporasi sawit.
Dinamika RTRW dan Dasar Kebijakan Tata Ruang
Revisi RTRWP Riau dilakukan sesuai ketentuan UU Kehutanan. Hadi menjelaskan bahwa Tim Terpadu pernah merekomendasikan perubahan kawasan hutan hingga 2,72 juta hektare.
Namun Zulhas hanya menetapkan 1,6 juta hektare, jumlah jauh lebih kecil dari rekomendasi tim. Penetapan ini mempertimbangkan pemekaran wilayah, infrastruktur, dan kebutuhan ruang publik.
Menteri Agraria dan Tata Ruang Nusron Wahid memastikan adanya evaluasi tata ruang pascabencana. Evaluasi ini dilakukan setelah tanggap darurat selesai dan mencakup seluruh daerah terdampak.
Ia mencontohkan penataan ulang tata ruang Jakarta setelah banjir. Evaluasi RTRW Sumatera diperlukan untuk mencegah kerusakan berulang dan memastikan pembangunan berkelanjutan.
Sikap Partai X: Negara Wajib Menjamin Kepastian Berkeadilan
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R Saputra, menegaskan bahwa negara wajib melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Ia menilai kebijakan kawasan hutan harus memastikan keadilan ekologis dan kepastian ruang bagi warga.
Prayogi menekankan bahwa tata ruang tidak boleh didominasi kepentingan pejabat dan korporasi. Keputusan tata ruang harus berbasis kebutuhan rakyat dan keselamatan lingkungan.
Partai X menegaskan bahwa negara harus menjamin keberlanjutan ekologi bersama kepastian hukum bagi warga. Pengelolaan ruang harus berpijak pada moralitas publik, keadilan sosial, dan keberpihakan kepada masyarakat.
Prinsip Partai X menolak segala bentuk manipulasi kebijakan ruang yang merugikan rakyat. Keputusan tata ruang harus mendahulukan penataan berkeadilan dan keseimbangan ekologis.
Solusi Partai X untuk Tata Ruang yang Transparan
Partai X mendorong audit tata ruang menyeluruh di daerah rawan bencana. Audit ini memastikan tidak ada perubahan fungsi lahan yang melanggar prinsip ekologis.
Partai X juga menuntut keterlibatan masyarakat dalam penyusunan RTRW melalui forum publik. Keterlibatan ini memperkuat legitimasi kebijakan dan mencegah pemusatan kuasa ruang pada segelintir pihak.
Partai X menegaskan bahwa pelepasan kawasan hutan harus berpihak pada rakyat. Kebijakan tata ruang wajib transparan, adil, dan menjaga keseimbangan lingkungan.
Prayogi menekankan bahwa negara tidak boleh mengabaikan keselamatan ekologis demi kepentingan jangka pendek. Ia menegaskan bahwa tata ruang berkeadilan adalah fondasi kedaulatan bangsa.



