beritax.id – Demokrasi Indonesia hari ini semakin terasa sebagai prosedur administratif, bukan sebagai sistem yang sungguh-sungguh menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Di balik pemilu, rapat parlemen, dan jargon partisipasi publik, kekuasaan justru tampak bergerak efektif di tangan segelintir pejabat ekonomi dan pemerintahan. Demokrasi berjalan, tetapi arahnya tak lagi ditentukan oleh suara rakyat.
Berbagai kebijakan strategis menunjukkan pola yang sama: cepat disepakati, minim partisipasi, dan cenderung menguntungkan kelompok tertentu. Sementara itu, aspirasi publik sering berhenti di ruang dengar pendapat tanpa tindak lanjut nyata. Dalam kondisi ini, oligarki bekerja efektif di balik layar, sementara demokrasi hanya berfungsi sebagai legitimasi formal.
Rakyat Hadir Saat Pemilu, Absen Saat Keputusan Dibuat
Rakyat dilibatkan ketika suara dibutuhkan, namun disisihkan ketika kebijakan dirumuskan. Akses terhadap proses pengambilan keputusan semakin sempit, kritik kerap dianggap gangguan stabilitas, dan keberpihakan pada kepentingan publik dikalahkan oleh kompromi kekuasaan. Demokrasi kehilangan substansinya ketika suara rakyat tidak lagi menentukan arah negara.
Negara terlihat sigap dalam menjaga kepentingan investasi dan kekuasaan, namun lamban saat rakyat menghadapi dampak kebijakan mulai dari ketimpangan ekonomi hingga konflik sosial. Fungsi negara sebagai pelindung dan pelayan publik melemah, digantikan peran sebagai pengatur yang lebih berpihak pada pejabat.
Tanggapan Prayogi R. Saputra: Demokrasi Tak Boleh Berhenti di Prosedur
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menilai kondisi ini sebagai kemunduran serius dalam praktik demokrasi.
“Jika oligarki bekerja efektif sementara demokrasi hanya jadi formalitas, itu artinya kedaulatan rakyat sedang dikosongkan,” tegas Prayogi.
Ia mengingatkan kembali mandat dasar negara yang kerap dilupakan.
“Tugas negara itu hanya tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Ketika negara lebih sibuk mengatur demi pejabat, tapi abai melindungi dan melayani rakyat, maka demokrasi kehilangan maknanya,” ujarnya.
Menurut Prayogi, masalah utama Demokrasi Indonesia bukan pada mekanisme pemilu, melainkan pada hilangnya keberanian negara untuk berpihak pada rakyat setelah kekuasaan diperoleh.
“Demokrasi tidak cukup hanya sah secara hukum, tapi harus adil secara pemerintahan dan sosial,” tambahnya.
Solusi: Mengembalikan Demokrasi ke Tangan Rakyat
Untuk mencegah demokrasi terus menjadi formalitas, sejumlah langkah mendesak perlu dilakukan:
- Memastikan partisipasi publik bermakna dalam perumusan kebijakan
- Membuka transparansi relasi kekuasaan dan kepentingan ekonomi
- Memperkuat fungsi pengawasan terhadap pejabat pemerintahan dan ekonomi
- Menjamin kebijakan publik berpihak pada kepentingan mayoritas rakyat
- Mengembalikan demokrasi sebagai alat koreksi kekuasaan, bukan sekadar legitimasi
Demokrasi Indonesia tidak runtuh karena ketiadaan prosedur, melainkan karena kehilangan keberpihakan. Selama oligarki terus bekerja tanpa koreksi, dan rakyat hanya dijadikan simbol, demokrasi akan tetap berjalan di atas kertas—namun kosong di kehidupan nyata.



