Oleh: Eko Wahyu Pramono – Anggota IWPI
beritax.id – Kabupaten Pati menarik perhatian nasional setelah ribuan warga dari berbagai kalangan menggelar aksi demonstrasi besar-besaran. Aksi ini dipicu oleh kebijakan pemerintah yang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) melalui pemutakhiran Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Sebagai anggota Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), saya merasa penting untuk memberikan pandangan yang objektif terkait peristiwa ini. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang menyebabkan ketegangan serta dampaknya terhadap masyarakat.
Berdasarkan laporan dari berbagai media sosial dan pemberitaan online, situasi di Pati pada hari itu tampak berbeda dari hari-hari biasa. Banyak kios yang tutup, sementara sejumlah pedagang yang biasanya berjualan terlihat ikut serta dalam aksi demonstrasi. Truk dan pickup yang mengangkut massa sudah terlihat sejak pagi, menunjukkan skala besar dari aksi yang berlangsung.
Meskipun tidak ada korban jiwa dalam aksi tersebut, sekitar 35 orang tercatat mengalami luka-luka dan harus menerima perawatan akibat terpapar gas air mata. Kejadian ini mengingatkan kita bahwa meskipun pemerintah berusaha menjaga ketertiban, kebijakan yang diterapkan bisa memicu ketegangan sosial yang lebih besar. Ketegangan ini berpotensi memperburuk situasi baik di tingkat daerah maupun pusat.
Kenaikan PBB: Penyebab Ketidakpuasan Masyarakat
Isu utama yang memicu aksi demonstrasi di Pati adalah kenaikan PBB akibat pemutakhiran NJOP. Meskipun ada beberapa kawasan dengan NJOP yang lebih tinggi, sebagian besar masyarakat di Pati tidak memiliki properti dengan nilai pajak yang signifikan. Sebagai contoh, rumah seorang warga yang terletak di pusat ibu kota kecamatan, dengan luas tanah dan bangunan yang lebih besar, hanya dikenakan PBB sekitar Rp170.000. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun sebagian kecil warga mungkin terdampak oleh kenaikan pajak yang besar. Mayoritas masyarakat merasa bahwa dampaknya tidak sesuai dengan kondisi sosial dan ekonomi mereka.
Meskipun kebijakan ini akhirnya dibatalkan, dampak sosial yang ditimbulkan tetap terasa. Ketika kebijakan pemerintah tidak mempertimbangkan daya beli masyarakat yang mayoritas berpendapatan rendah. Hal ini menimbulkan rasa ketidakpuasan yang mendalam di kalangan rakyat. Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat memperburuk hubungan antara pemerintah dan rakyat, yang mengarah pada frustrasi yang meluas.
Tindak Lanjut Pemerintah yang Memperburuk Ketegangan Sosial
Sebagai seorang praktisi pajak dan anggota IWPI, saya menilai bahwa respons pemerintah terhadap situasi ini justru memperburuk ketegangan yang ada. Salah satu contoh nyata adalah edaran BPKAD yang meminta pedagang kaki lima untuk membayar pajak dan retribusi daerah. Meskipun edaran tersebut akhirnya dibatalkan, dampaknya cukup signifikan. Banyak pedagang yang selama ini bergantung pada pendapatan harian merasa terbebani oleh kebijakan ini, yang tidak mempertimbangkan kapasitas mereka untuk membayar pajak.
Selain itu, pernyataan yang dikeluarkan oleh Bupati Sudewo turut memperburuk suasana. Kalimatnya yang menantang, “Silakan datangkan 5.000 atau 50.000 orang, saya tidak akan gentar,. Memberikan kesan bahwa pemerintah tidak peduli terhadap aspirasi masyarakat. Ucapan seperti ini tidak hanya memperburuk komunikasi antara pemerintah dan rakyat. Tetapi juga menciptakan ketegangan yang lebih dalam di tengah masyarakat yang sudah merasa terpinggirkan.
Sebagai pemerintah yang memiliki kewajiban untuk melayani rakyat, sangat penting untuk menyadari bahwa komunikasi yang terbuka, responsif, dan bijaksana adalah kunci untuk mencegah ketegangan sosial. Sebuah kebijakan yang baik harus memperhatikan kebutuhan dan keadaan masyarakat yang terdampak, dan bukan malah memperburuk ketimpangan sosial yang sudah ada.
Prinsip Keadilan dan Transparansi dalam Kebijakan Perpajakan
Sebagai praktisi pajak, saya menegaskan bahwa kebijakan perpajakan harus berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan dan transparansi. Pemerintah di tingkat pusat maupun daerah seharusnya memiliki pertimbangan yang matang dan sensitif terhadap keadaan sosial-ekonomi masyarakat saat merancang kebijakan. Terutama yang berkaitan langsung dengan kesejahteraan rakyat.
Kebijakan yang diambil harus dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat dengan berbagai tingkat ekonomi. Kebijakan perpajakan seharusnya tidak hanya berorientasi pada pencapaian target pendapatan negara atau daerah. Namun harus mempertimbangkan daya beli masyarakat serta dampak sosial yang ditimbulkan. Pembayaran pajak yang terlalu membebani masyarakat yang belum siap secara ekonomi justru akan menambah ketimpangan dan ketidakadilan sosial.
Mengutamakan Kesejahteraan Rakyat
Pemerintah harus lebih cermat dalam merumuskan kebijakan yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah kebijakan yang berkaitan dengan pajak daerah, yang harus memerhatikan potensi ekonomi lokal dan daya beli masyarakat. Kebijakan yang lebih bijaksana dan berbasis pada data yang akurat mengenai kondisi sosial-ekonomi masyarakat akan membantu menciptakan hubungan yang lebih baik antara pemerintah dan masyarakat.
Penting juga bagi pemerintah untuk memperkuat saluran komunikasi dengan masyarakat, mendengarkan keluhan dan masukan mereka, serta memberikan penjelasan yang jelas mengenai kebijakan yang diterapkan. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap kebijakan yang diterapkan tidak hanya menciptakan penerimaan pajak, tetapi juga memberikan manfaat langsung bagi kesejahteraan rakyat.
Aksi demonstrasi yang terjadi di Pati adalah cerminan dari ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan yang tidak sensitif terhadap kondisi mereka. Sebagai anggota IWPI, saya berharap bahwa ke depannya pemerintah dapat memperhatikan lebih dalam kebutuhan dan aspirasi masyarakat dalam merancang kebijakan yang lebih adil dan berpihak pada kesejahteraan bersama.