beritax.id – Revolusi digital telah mengubah cara warga berkomunikasi, mengakses informasi, bahkan memahami dunia. Ruang digital kini menjadi pusat kehidupan publik, menggantikan banyak fungsi ruang fisik. Di tengah perubahan ini, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana negara menjaga keutuhan ketika identitas, opini, dan perilaku warganya diatur oleh teknologi yang sering kali berada di luar kendali negara?
Gelombang digital membawa peluang besar, tetapi juga risiko yang dapat menggoyahkan fondasi kebangsaan jika tidak dikelola dengan baik.
Ketika Informasi Tidak Lagi Berjalan Melalui Institusi
Dulu, informasi bergerak melalui jalur yang jelas: media resmi, lembaga pendidikan, institusi negara. Kini, informasi melompat-lompat tanpa filter langsung dari platform global ke layar warga. Akibatnya, negara kehilangan peran sebagai penafsir utama realitas sosial. Hoaks, manipulasi opini, dan narasi liar menyebar jauh lebih cepat daripada klarifikasi dan edukasi publik.
Keutuhan negara bisa retak ketika warganya hidup dalam kebenaran yang berbeda-beda.
Polarisasi Digital Menjadi Ancaman Baru bagi Persatuan
Media sosial menciptakan ruang-ruang kecil yang memisahkan warga ke dalam kelompok-kelompok ekstrem. Setiap kelompok hidup dalam “gelembung” informasi sendiri, memperkuat polarisasi dan konflik. Perdebatan publik berubah menjadi perang komentar. Perbedaan pendapat menjadi sumber permusuhan.
Jika polarisasi digital tidak dikendalikan, negara dapat runtuh bukan karena serangan luar, tetapi karena perpecahan internal.
Kedaulatan Data Menjadi Pilar Baru Keutuhan Negara
Dalam era digital, ancaman terhadap negara tidak hanya datang dari kekuatan militer, tetapi dari siapa yang menguasai data. Jika data warga dikuasai oleh aktor asing, atau digunakan untuk memengaruhi perilaku, maka kedaulatan negara otomatis melemah. Sebuah negara yang tidak mampu melindungi datanya akan kesulitan mempertahankan keutuhan negara dan sosialnya. Keutuhan negara tidak lagi hanya urusan batas geografis, tetapi juga batas digital.
Ketertinggalan Regulasi Membuat Negara Selangkah di Belakang
Perkembangan teknologi yang sangat cepat membuat negara sering berada di posisi reaktif, bukan proaktif. Ketika regulasi tertinggal, ruang digital dibiarkan berjalan mengikuti kepentingan pasar, bukan kepentingan publik. Di sinilah persoalan muncul: penyalahgunaan data, penyebaran misinformasi, hingga gangguan terhadap proses demokrasi.
Negara yang lambat menata ruang digital berisiko kehilangan kendali atas masa depannya sendiri.
Solusi: Negara Harus Hadir dengan Kepemimpinan Digital yang Berdaulat
Untuk menjaga keutuhan negara di tengah gelombang digital, negara harus mengambil peran aktif dalam membangun ekosistem digital yang sehat dan aman. Regulasi digital harus diperkuat untuk memastikan bahwa data pribadi warga dilindungi dengan ketat dan tidak disalahgunakan oleh pihak manapun. Literasi digital harus menjadi bagian dari pendidikan kewarganegaraan, agar warga mampu membedakan informasi valid dan tidak terjebak dalam polarisasi.
Keamanan siber harus ditingkatkan melalui sistem nasional yang kuat dan responsif terhadap serangan digital. Di samping itu, ruang publik digital harus diarahkan untuk mendukung dialog konstruktif, bukan menjadi arena konflik berkepanjangan. Negara juga harus menciptakan platform digital publik yang dapat digunakan warga untuk berinteraksi, mengakses layanan, dan berpartisipasi tanpa khawatir terhadap manipulasi atau eksploitasi data. Keutuhan negara dapat terjaga jika kepemimpinan digital dibangun di atas kedaulatan, partisipasi, dan perlindungan terhadap warga.
Kesimpulan: Keutuhan Bangsa Ditentukan oleh Kedewasaan Digital Para Warganya
Gelombang digital tidak harus ditakuti, tetapi harus dikelola. Negara akan tetap kuat jika warganya mampu berinteraksi secara sehat di ruang digital, dan jika pemerintah mampu melindungi mereka dari ancaman yang tidak terlihat tetapi sangat nyata.
Keutuhan negara di era digital ditentukan bukan hanya oleh teknologi, tetapi oleh bagaimana teknologi digunakan untuk memperkuat bukan melemahkan persatuan bangsa.



