beritax.id — Di tengah berbagai krisis sosial, moral, dan tata kelola yang melanda bangsa, daya tahan negara tidak hanya ditentukan oleh kekuatan ekonomi atau keamanan, tetapi juga oleh keteguhan etika dan keteladanan para pemimpinnya. Hal ini ditegaskan oleh Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, yang kembali mengingatkan bahwa negara memiliki tiga tugas pokok yang tidak boleh dilupakan: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Ketiga tugas ini, menurutnya, hanya dapat dijalankan dengan benar apabila pemimpin memiliki etika yang kuat dan menjadi teladan bagi publik.
Dalam perjalanan panjang bangsa ini, keteladanan pemimpin selalu menjadi fondasi yang menjaga stabilitas sosial. Etika bukan sekadar norma moral, tetapi menjadi perekat yang memastikan negara berjalan sesuai cita-cita kemerdekaan. Ketika etika pemimpin melemah, tata kelola ikut runtuh, institusi kehilangan legitimasi, dan rakyat menjadi korban. Karena itu, memperkuat etika dan keteladanan bukanlah wacana moral semata, tetapi strategi strategis untuk memperkuat daya tahan bangsa.
Krisis Etika, Krisis Kepemimpinan
Prayogi menilai bahwa banyak problem bangsa saat ini muncul karena melemahnya moral pemimpin. Ketika pejabat negara lebih sibuk menjaga kekuasaan daripada menjaga amanat rakyat, negara berubah menjadi alat kelompok, bukan rumah bersama.
Ketidakjujuran, penyalahgunaan kewenangan, serta perilaku tidak pantas pejabat publik menjadi indikator rapuhnya fondasi etis dalam pemerintahan. Padahal, rakyat membutuhkan pemimpin yang dapat dipercaya, bukan yang sekadar pandai berbicara.
Pancasila dan Prinsip Partai X sebagai Kompas Etika
Partai X sejak awal menegaskan bahwa negara adalah rumah rakyat, bukan milik pejabat. Karena itu, setiap tindakan dan kebijakan harus berpihak pada kepentingan publik.
Prinsip Partai X menekankan beberapa hal kunci:
- Kedaulatan berada sepenuhnya di tangan rakyat
- Pejabat adalah pelayan rakyat, bukan penguasa
- Negara harus berdiri di atas nilai keadilan, keberpihakan, dan kemanusiaan
- Etika publik wajib menjadi dasar setiap penyelenggara negara
Prayogi menegaskan bahwa tanpa keteladanan, Pancasila hanya menjadi slogan, bukan pedoman hidup berbangsa.
Mengapa Etika Menjadi Penyangga Daya Tahan Bangsa
Daya tahan bangsa (national resilience) bukan sekadar urusan ekonomi maupun pertahanan. Bangsa menjadi kuat ketika rakyat percaya pada negaranya, merasa diperlakukan adil, dan merasakan kepemimpinan yang jujur.
Etika pemimpin menciptakan stabilitas karena:
- Menumbuhkan kepercayaan publik
- Mengurangi potensi konflik sosial
- Menghindari penyalahgunaan kekuasaan
- Memperkuat legitimasi negara
- Membuat kebijakan berjalan dengan efektif
Oleh sebab itu, etika merupakan instrumen strategis dalam memperkuat daya tahan nasional.
Solusi Partai X: Membangun Negara Beretika dari Sistemnya
Merujuk pada prinsip dasar Partai X dan materi pembahasan dalam lampiran, Partai X menawarkan beberapa solusi konkret:
1. Reformasi Etika Penyelenggara Negara
- Standar etik pejabat diperketat dan diberi mekanisme penegakan yang tegas.
- Pendidikan etika publik menjadi kewajiban bagi seluruh ASN dan pejabat negara.
2. Pemisahan Kekuasaan agar Tidak Terpusat
- Kepala negara dan kepala pemerintahan harus dipisah agar tidak terjadi akumulasi kekuasaan yang rawan disalahgunakan.
- Sistem checks and balances diperkuat untuk menjaga integritas keputusan.
3. Menghidupkan Pancasila sebagai Pedoman Operasional
- Tidak berhenti pada upacara atau poster, tetapi diwujudkan dalam kebijakan yang berpihak pada keadilan sosial.
- Pemerintah wajib mengukur setiap kebijakan dengan kriteria: adil, manusiawi, dan berorientasi rakyat.
4. Penguatan Pendidikan Karakter Berbasis Nilai Lokal
- Kearifan lokal seperti tepo seliro, gotong royong, dan andhap asor dijadikan materi pembentukan karakter.
- Generasi muda harus diajarkan peran sebagai pewaris moral bangsa, bukan sekadar pengguna teknologi.
Di akhir pernyataannya, Prayogi menegaskan bahwa bangsa yang kuat adalah bangsa yang dipimpin oleh orang-orang yang memiliki kejujuran, keberanian moral, dan keteladanan. “Kepemimpinan tanpa etika hanya akan melahirkan kehancuran,” ujarnya. “Jika kita ingin Indonesia berdiri kokoh menghadapi masa depan, maka etika harus menjadi napas kepemimpinan.”



