beritax.id – Delapan mahasiswa hukum dari Universitas Diponegoro dan Universitas Negeri Semarang menggugat ambang batas pencalonan kepala daerah. Mereka mengajukan uji materiil terhadap Pasal 40 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 ke Mahkamah Konstitusi. Para pemohon meminta Mahkamah untuk memaknai kembali aturan ambang batas (threshold) pencalonan kepala dan wakil kepala daerah.
Gugatan ini meminta agar Mahkamah menghapus threshold pilkada, seperti yang sudah diputuskan dalam gugatan presidential threshold sebelumnya. Mereka menilai ambang batas justru memunculkan calon tunggal dan mengebiri hak demokrasi rakyat.
Dalam gugatannya, para mahasiswa menyebut penghapusan threshold akan memulihkan demokrasi langsung rakyat. Threshold dianggap membatasi kompetisi, mempersempit ruang kontestasi, dan memperkuat dominasi oligarki partai.
Sebagai argumen, mereka menyebut 37 calon tunggal muncul dalam Pilkada 2024. Padahal, Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 sudah menurunkan ambang batas menjadi 6,5 sampai 10 persen. Itu dinilai belum cukup menghilangkan ketimpangan peluang pencalonan.
Partai X: Demokrasi Tak Boleh Dibatasi Oligarki dan Hitung-hitungan Kursi
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menyatakan dukungan penuh terhadap gerakan mahasiswa tersebut. “Demokrasi itu tak butuh batasan palsu. Rakyat adalah raja, bukan figuran dalam panggung pemilu,” tegasnya.
Menurut prinsip Partai X, pemerintah adalah pelayan rakyat. Jika pelayan membatasi pilihan pemilik negara, maka pelayan itu telah menyalahgunakan kuasa. Negara harus membuka ruang selebar-lebarnya untuk kedaulatan rakyat.
Partai X menilai ambang batas bukan alat demokrasi, tapi alat pembatas akses rakyat pada kekuasaan. Sistem ini hanya menguntungkan pejabat yang sudah menguasai parlemen. Ini mempersempit partisipasi dan memperbesar oligarki.
“Threshold itu bukan pagar demokrasi. Itu tembok penghalang rakyat,” ujar Rinto. Ia mengingatkan, tugas negara adalah melindungi, melayani, dan mengatur rakyat – bukan mengatur-atur rakyat agar tak bisa memilih.
Solusi Partai X: Rombak Sistem dari Akar, Kembalikan ke Rakyat
Partai X menyampaikan solusi konkret. Pertama, amandemen kelima UUD 1945 agar kedaulatan kembali utuh ke tangan rakyat.
Kedua, reformasi hukum dengan sistem pakar untuk memastikan tafsir konstitusi tidak dipermainkan kepentingan.
Ketiga, hapus total ambang batas pilkada dan pemilu. Keempat, akomodasi jalur perseorangan yang seimbang dan adil. Kelima, semua partai wajib menjalankan pendidikan atau dibubarkan.
Sekolah Negarawan: Cetak Pemimpin dari Rakyat, Bukan dari Kalkulasi Koalisi
Partai X melalui Sekolah Negarawan mendidik pemimpin yang tidak lahir dari sistem transaksional. Sekolah ini mencetak negarawan sejati: bijaksana, berintegritas, dan berpihak pada kepentingan rakyat.
Di sekolah ini diajarkan bahwa rakyat bukan angka elektoral. Rakyat adalah pemilik negara. Pemimpin sejati bukan yang dipilih karena popularitas semu, tapi karena kemampuan dan keberanian menyuarakan keadilan.
Partai X menegaskan bahwa sistem tanpa batasan palsu akan membangun kepercayaan publik. Demokrasi tidak boleh dijalankan berdasarkan kompromi partai, tapi atas nama kedaulatan rakyat.
“Kalau rakyat cuma diberi satu pilihan, itu bukan pemilu, itu sandiwara,” pungkas Rinto.