beritax.id – Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Achmadi memaparkan enam isu krusial dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Ia menilai, substansi perlindungan saksi dan korban belum mendapat perhatian serius dalam draf tersebut. Hal ini ia sampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) di Senayan, Selasa (17/6).
Achmadi menyebut perlindungan saksi dan korban harus menjadi bagian dari subsistem peradilan pidana. Namun, hak-hak dasar mereka belum sepenuhnya diakomodasi dalam draf RKUHAP. Ia juga menyoroti ketiadaan ketentuan hukum acara mengenai victim impact statement, restitusi, justice collaborator, serta dana pemulihan korban.
Partai X: UU Tidak Cukup, Lapangan Masih Banyak Pelanggaran
Menanggapi itu, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menyebut perlindungan hukum tidak boleh hanya berhenti di atas kertas. “Tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Kalau hanya mengatur lewat pasal, tapi perlindungan di lapangan tak berjalan, maka negara gagal,” ujar Rinto di Jakarta.
Menurut Rinto, fakta bahwa korban sering dipinggirkan dalam proses hukum mencerminkan deviasi peran negara. KUHAP selama ini, kata dia, terlalu tersangka-sentris dan abai pada keadilan korban. Karena itu, Rinto menegaskan bahwa reformasi hukum tidak cukup hanya normatif, tapi juga mesti transformasional.
Prinsip Partai X: Pemerintah Adalah Pelayan, Rakyat Adalah Raja
Partai X menilai bahwa pemerintah hanyalah sebagian kecil dari rakyat yang diberi kewenangan untuk melayani.
Dalam analogi Partai X, negara adalah bus, rakyat adalah pemilik, dan pemerintah hanyalah sopir. Jika sopir ugal-ugalan dan tidak membawa bus ke tujuan rakyat, maka rakyat berhak menggantinya.
Prinsip ini juga menegaskan bahwa negara bukan milik pejabat, melainkan milik rakyat seluruhnya. Maka dari itu, segala bentuk kebijakan, termasuk hukum acara pidana, harus berpihak pada rakyat, terutama yang rentan menjadi korban.
Solusi Partai X: Reformasi Sistemik Lewat Sekolah Negarawan
Dalam pandangan Partai X, akar persoalan perlindungan saksi dan korban tidak hanya soal kurangnya pasal. Lebih dalam dari itu, krisis ini muncul karena absennya watak negarawan dalam tubuh birokrasi hukum.
Solusi yang ditawarkan Partai X adalah pembentukan Sekolah Negarawan. Lembaga ini bertujuan mencetak pemimpin dengan kapasitas kebangsaan, integritas tinggi, dan keberpihakan terhadap keadilan sosial. Melalui pendidikan kebangsaan dan sistem kepakaran, Sekolah Negarawan akan mendorong reformasi sistem hukum dan birokrasi yang berkeadilan.
Selain itu, Partai X mendorong amandemen kelima UUD 1945 agar kedaulatan kembali kepada rakyat. Hanya dengan kedaulatan rakyat, maka perlindungan hukum akan menyentuh seluruh warga, bukan hanya mereka yang memiliki kuasa.
RUU KUHAP Harus Berdiri di Atas Kepentingan Korban
Partai X menekankan bahwa substansi perlindungan korban dalam RKUHAP harus meliputi hak psikologis, sosial, dan ekonomi. Tidak cukup hanya dengan memberi akses restitusi atau perlindungan fisik. Negara harus hadir secara utuh melalui sistem hukum yang berpihak, aparat yang berintegritas, dan layanan yang efektif.
Penyusunan RKUHAP ke depan, menurut Partai X, harus melibatkan pendekatan multidisipliner. Tidak boleh hanya dirancang oleh kelompok penguasa hukum tanpa mendengar suara korban. Karena keadilan tidak hadir dari pasal yang sempurna, tetapi dari niat negara untuk melindungi manusia seutuhnya.
Bagi Partai X, politik adalah alat perjuangan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Jika hukum hanya melayani prosedur, tapi abai pada korban, maka hukum telah gagal menjadi alat keadilan.
Partai X akan terus mengawal penyusunan RKUHAP agar berpijak pada nilai-nilai Pancasila dan kedaulatan rakyat. Tanpa keberpihakan nyata pada korban, negara tak lebih dari kekuasaan yang tuli terhadap penderitaan rakyat.