Oleh Rinto Setiyawan – Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Krisis ekonomi yang kita hadapi hari ini bukanlah badai siklus biasa. Ini bukan sekadar dampak fluktuasi global atau efek pandemi semata. Ini adalah bencana ekonomi struktural, hasil langsung dari kesalahan mendasar dalam struktur ketatanegaraan kita.
Ketika fondasi tata kelola negara tidak adil, tidak transparan, dan tidak akuntabel, maka seluruh sistem ekonominya pun akan berujung pada kegagalan. Dan yang paling menderita tentu bukan pejabat tinggi atau elite penguasa, melainkan rakyat kecil.
Negara Gagal Mengelola Kekayaan, Rakyat Menanggung Beban
Indonesia adalah negara kaya sumber daya, namun ironisnya rakyat tetap miskin.
Kekayaan dikelola tanpa transparansi. Pajak ditarik tanpa empati. Kebutuhan dasar diperlakukan seperti komoditas pasar bebas, bukan hak konstitusional.
Negara gagal mengelola sumber daya dan distribusi keadilan ekonomi, dan akar dari kegagalan itu bukan pada teknis fiskal semata, melainkan pada struktur ketatanegaraan yang sentralistis, tertutup, dan bias kuasa.
“Teroris Ekonomi” dalam Baju Aparatur Negara
Kegagalan negara dalam membangun sistem kontrol atas kekuasaan fiskal melahirkan aktor-aktor predatoris di dalam tubuh birokrasi itu sendiri.
Hari ini, oknum pejabat pajak dan bea cukai bisa bertindak seperti “teroris ekonomi”: memeras wajib pajak, memanipulasi prosedur, dan menjadikan hukum sebagai alat tekanan demi keuntungan pribadi.
Kejahatan ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia lahir dari sistem yang tidak memisahkan secara sehat antara pembuat kebijakan, pelaksana, dan pengawas. Di Indonesia, semuanya dikendalikan oleh satu kementerian: Kementerian Keuangan.
Bendahara dan Kasir dalam Satu Tangan? Bencana
Dalam tata kelola modern, fungsi bendahara (pengelola anggaran negara) dan kasir (penarik dan penyetor dana) harusnya dipisahkan. Namun di Indonesia, semuanya disatukan dalam satu tangan: Kementerian Keuangan. Dari perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, hingga penegakan pajak, semua dijalankan oleh satu institusi.
Inilah mengapa lahir istilah “Kementerian Sultan.” Karena dalam praktiknya, seluruh aset negara seolah berada di bawah kendali satu lembaga administratif, tanpa pengawasan dan keseimbangan kekuasaan yang sehat.
Situasi ini bukan hanya berbahaya, tetapi berpotensi merusak demokrasi ekonomi dan keadilan fiskal secara sistemik.
Ketergantungan Asing dan Lemahnya Kedaulatan Ekonomi
Dalam sistem yang rusak ini pula, negara menjadi sangat bergantung pada asing, baik dalam investasi, utang, maupun teknologi ekonomi.
Kedaulatan ekonomi hanyalah jargon dalam pidato, bukan kenyataan dalam kebijakan.
Bukan hanya rakyat yang dirugikan, tetapi juga masa depan bangsa sebagai entitas merdeka.
Penutup: Reformasi Struktural Adalah Solusi
Krisis ekonomi ini bukan hanya soal angka inflasi atau neraca dagang. Ini adalah hasil dari cacatnya struktur ketatanegaraan yang tidak adil, tidak sehat, dan tidak beradab.
Sudah saatnya bangsa ini membangun ulang sistemnya, memisahkan kekuasaan fiskal secara tegas, mendesain ulang struktur keuangan negara agar tidak absolut di satu tangan, serta menempatkan ekonomi sebagai alat untuk kesejahteraan, bukan dominasi.
Jika tidak, rakyat akan terus menjadi korban, dan bangsa ini hanya akan menjadi pasar besar yang dikendalikan oleh segelintir birokrat dan korporasi.