Oleh: Rinto Setiyawan, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Indonesia bukan hanya sedang mengalami krisis ekonomi atau sosial, tetapi juga krisis budaya yang akut. Bencana budaya ini bukan semata-mata soal ekspansi budaya asing atau minimnya minat generasi muda terhadap tradisi. Masalah utamanya lebih dalam dan sistemik: struktur ketatanegaraan kita cacat, dan kegagalan ini memicu bencana identitas budaya yang menggerus fondasi kebangsaan kita.
Kebudayaan Tidak Lagi Diperlakukan sebagai Sistem Kehidupan
Dalam struktur kenegaraan yang ideal, budaya bukan hanya ornamen, melainkan roh konstitusi dan dasar pijakan bagi arah pembangunan nasional. Sayangnya, sejak amandemen UUD 1945 yang menjadikan negara terlalu teknokratis dan birokratis, kebudayaan tidak lagi dijadikan ruh kebijakan, melainkan sekadar sub-sub dari kementerian.
Lihat saja: dimana posisi kebudayaan dalam perencanaan pembangunan nasional? Adakah kearifan lokal yang menjadi pijakan undang-undang? Ataukah semuanya hanya copy-paste dari model-model negara maju yang tidak cocok dengan karakter bangsa ini?
Dominasi Budaya Asing adalah Akibat, Bukan Sebab
Hari ini kita menyalahkan media sosial, Korea Selatan, dan budaya barat atas lunturnya karakter anak-anak bangsa. Namun siapa yang memberi ruang itu? Negara lah yang gagal menciptakan infrastruktur budaya yang kokoh dan menyeluruh. Negara tidak melindungi sistem nilai lokal, tidak membentuk ruang-ruang ekspresi budaya tradisional, bahkan tidak mendanai secara layak pelestarian warisan budaya di luar event-event seremoni.
Ketika negara abai, pasar mengambil alih. Dan pasar tidak peduli budaya, yang penting rating dan profit.
Generasi Baru Tanpa Akarnya
Kini lahirlah generasi baru yang lebih tahu cara menari TikTok daripada memahami filosofi tari Gambyong. Generasi yang bangga mengenakan hoodie Supreme, tetapi tak paham makna simbolik batik tulis dari daerahnya. Ini bukan salah anak muda, tetapi salah sistem. Karena negara gagal menjadi penjaga nilai dan pengarah jati diri.
Struktur Ketatanegaraan yang Tidak Menempatkan Budaya sebagai Pilar
Kesalahan besar ketatanegaraan kita hari ini adalah menghilangkan peran kebudayaan dari tubuh utama negara. Padahal, para pendiri bangsa seperti Soekarno, Ki Hajar Dewantara, bahkan Sutan Takdir Alisjahbana telah memperjuangkan agar kebudayaan adalah tulang punggung politik nasional.
Tapi sekarang? Perumus kebijakan hanya bicara anggaran dan pertumbuhan ekonomi. Tidak ada satu pun kementerian yang bisa memastikan generasi Indonesia tahun 2045 akan tetap mengenal dirinya sebagai bangsa Nusantara.
Solusinya: Rekonstruksi Ketatanegaraan Berbasis Budaya
Indonesia harus kembali pada prinsip dasar: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal jati dirinya.” Maka, solusi atas krisis budaya ini bukan sekadar festival atau lomba kebaya—tetapi rekonstruksi total struktur kenegaraan. Kita butuh:
- Majelis Kebudayaan Nasional yang memiliki hak mengoreksi arah kebijakan negara jika menyimpang dari nilai luhur bangsa.
- Konstitusi Budaya yang melindungi kearifan lokal dan menjadikannya sumber hukum alternatif.
- Pendidikan berbasis budaya lokal yang wajib di semua jenjang sekolah dan kampus.
- Reorientasi pembangunan: bukan hanya mengejar infrastruktur fisik, tetapi membangun infrastruktur kebudayaan.
Penutup: Budaya adalah Napas Bangsa
Tanpa budaya, Indonesia bukan lagi Indonesia. Negara bisa kaya, jalan bisa lebar, gedung bisa tinggi, tapi bangsa bisa kosong jiwanya. Jika struktur negara terus menyingkirkan budaya dari peran strategisnya, maka kita sedang menuju kehancuran yang lebih senyap namun fatal: punahnya jati diri bangsa.
Dan jangan salah: krisis budaya adalah awal dari segala krisis lainnya.
Bangsa yang kehilangan identitas, akan mudah dijajah kembali, tanpa senjata, tanpa perang, tanpa perlawanan.