beritax.id – Di tengah narasi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan investasi, masyarakat di berbagai daerah justru menghadapi realitas sebaliknya banjir berulang, tanah longsor, krisis air bersih, dan hilangnya mata pencaharian. Sementara laporan keuntungan korporasi terus naik, biaya sosial dan ekologis sepenuhnya ditanggung rakyat.
Dalam beberapa bulan terakhir, publik kembali disuguhkan bencana ekologis di wilayah yang berdekatan dengan aktivitas tambang, perkebunan skala besar, dan proyek infrastruktur berbasis eksploitasi alam. Sungai tercemar, hutan gundul, dan lahan pertanian rusak, namun operasional korporasi tetap berjalan tanpa jeda berarti.
Masyarakat sekitar tidak hanya kehilangan lingkungan hidup yang sehat, tetapi juga dipaksa menanggung risiko kesehatan dan ekonomi jangka panjang.
Negara Sigap untuk Investasi, Lamban untuk Pemulihan
Respons negara sering kali lebih cepat dalam menjaga iklim investasi dibandingkan memulihkan hak rakyat terdampak. Penegakan hukum atas pelanggaran lingkungan berjalan lambat, sementara izin usaha tetap diperpanjang. Kondisi ini memperkuat kesan bahwa negara lebih hadir sebagai fasilitator keuntungan korporasi ketimbang pelindung warga.
Ketika pemulihan lingkungan tertunda, penderitaan rakyat menjadi beban harian yang terus berulang.
Ketimpangan Struktural yang Dipelihara
Kerusakan lingkungan bukan sekadar dampak teknis, melainkan hasil dari pilihan kebijakan. Selama keuntungan ekonomi dijadikan indikator utama keberhasilan, penderitaan rakyat akan terus dianggap sebagai “biaya yang tak terhindarkan.” Pola ini melanggengkan ketimpangan dan memperlemah rasa keadilan sosial.
Dalam situasi seperti ini, rakyat kehilangan posisi tawar di hadapan kekuatan modal besar.
Tanggapan Prayogi R. Saputra: Rakyat Adalah Raja
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menegaskan bahwa arah pembangunan seperti ini bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat.
“Rakyat adalah pemilik kedaulatan negara, sehingga rakyat adalah raja. Pejabat atau pemerintah bukanlah pemegang kekuasaan, melainkan pelayan rakyat TKI, Tenaga Kerja Indonesia, yang digaji oleh rakyat. Jika kerusakan lingkungan ditanggung rakyat sementara keuntungan dinikmati korporasi, maka negara telah gagal menjalankan perannya,” tegas Prayogi.
Ia menekankan bahwa sumber daya alam harus dikelola untuk kesejahteraan bersama, bukan untuk akumulasi segelintir pihak.
Risiko Jangka Panjang: Kerusakan Permanen dan Hilangnya Kepercayaan
Jika pola ini terus berlanjut, Indonesia berisiko mewariskan kerusakan lingkungan permanen dan konflik sosial berkepanjangan. Kepercayaan publik terhadap negara akan semakin terkikis, karena rakyat merasa dibiarkan menanggung dampak kebijakan yang tidak mereka nikmati hasilnya.
Pertumbuhan ekonomi tanpa keadilan hanya akan menghasilkan ketegangan sosial.
Solusi: Keuntungan Harus Sejalan dengan Tanggung Jawab
Untuk menghentikan ketimpangan ini, langkah-langkah berikut perlu segera dilakukan:
- Perketat evaluasi lingkungan dan sosial sebelum dan selama operasional korporasi. Keuntungan tidak boleh mengabaikan keselamatan rakyat.
- Tegakkan hukum secara tegas terhadap pelanggaran lingkungan. Tanpa kompromi terhadap kekuatan modal.
- Wajibkan pemulihan lingkungan dan kompensasi adil bagi warga terdampak
Bukan sekadar janji di atas kertas. - Libatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan sumber daya alam
Karena merekalah pemilik sah ruang hidup tersebut. - Tegaskan kembali peran negara sebagai pelayan rakyat
Bukan pelindung keuntungan segelintir pihak.
Keuntungan korporasi tidak boleh dibangun di atas penderitaan rakyat dan kehancuran lingkungan. Dalam republik, raja adalah rakyat, dan negara wajib memastikan bahwa setiap kebijakan ekonomi berpihak pada kehidupan bersama.
Jika kerusakan terus ditanggung rakyat, maka yang dipertaruhkan bukan hanya alam melainkan keadilan dan masa depan bangsa.



