beritax.id – Operasi militer yang digelar atas nama keamanan negara kembali menyisakan persoalan serius bagi warga sipil. Di sejumlah wilayah konflik, aktivitas militer yang intens tidak hanya menargetkan kelompok bersenjata, tetapi juga berdampak langsung pada kehidupan masyarakat biasa. Rumah ditinggalkan, aktivitas ekonomi lumpuh, dan rasa takut menjadi keseharian warga yang tidak terlibat konflik. Ketika pendekatan keamanan berjalan tanpa perlindungan memadai, warga sipil justru menjadi korban utama.
Dalam praktik di lapangan, garis pemisah antara target operasi dan warga sipil sering kali kabur. Kehadiran aparat bersenjata di ruang hidup masyarakat menciptakan tekanan psikologis, sementara mobilitas warga dibatasi atas nama pengamanan wilayah.
Kondisi ini menunjukkan bahwa operasi militer tidak bisa dilepaskan dari dampak kemanusiaan yang luas.
Narasi Stabilitas Menutup Luka Sosial
Narasi resmi yang dikedepankan kerap menekankan keberhasilan operasi dan pemulihan stabilitas. Namun di balik itu, cerita tentang trauma warga, anak-anak yang kehilangan akses pendidikan, dan keluarga yang terpaksa mengungsi jarang mendapatkan perhatian setara.
Ketimpangan narasi ini berisiko menormalisasi penderitaan warga sipil sebagai konsekuensi yang dianggap wajar.
Pelayanan Negara yang Tertinggal
Di tengah operasi militer, kehadiran negara sebagai pelayan rakyat sering kali tidak sebanding. Layanan kesehatan, bantuan kemanusiaan, dan perlindungan sosial datang terlambat atau tidak menjangkau seluruh warga terdampak.
Akibatnya, masyarakat harus bertahan sendiri dalam situasi yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara.
Tanggapan Prayogi R. Saputra: Keamanan Tidak Boleh Mengorbankan Rakyat
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menegaskan bahwa pendekatan keamanan harus selalu berpijak pada mandat konstitusional negara.
“Tugas negara itu ada tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Jika operasi militer justru membuat warga sipil kehilangan rasa aman, maka fungsi perlindungan gagal. Jika kebutuhan dasar warga tidak terpenuhi, maka fungsi pelayanan tidak berjalan. Dan jika kebijakan keamanan tidak mempertimbangkan dampak kemanusiaan, berarti negara keliru dalam mengatur,” tegas Prayogi.
Ia menekankan bahwa keamanan sejati adalah ketika rakyat merasa aman, bukan hanya wilayah yang diklaim stabil.
Pendekatan yang terlalu menitikberatkan pada kekuatan militer berpotensi meninggalkan luka sosial berkepanjangan. Trauma kolektif, ketidakpercayaan terhadap negara, dan siklus konflik baru dapat muncul jika penderitaan warga sipil tidak ditangani secara serius.
Tanpa pendekatan yang manusiawi, stabilitas hanya akan bersifat semu.
Solusi: Menempatkan Perlindungan Warga sebagai Prioritas
Untuk memastikan keamanan berjalan seiring dengan kemanusiaan, langkah-langkah berikut perlu dilakukan:
- Menempatkan keselamatan warga sipil sebagai prinsip utama operasi keamanan
Setiap tindakan harus menghindari dampak terhadap masyarakat non-kombatan. - Memastikan layanan kemanusiaan berjalan paralel dengan operasi keamanan
Kesehatan, pangan, dan perlindungan sosial harus dijamin. - Memperkuat pengawasan dan akuntabilitas aparat
Agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak warga. - Membuka ruang dialog dan pendekatan non-militer
Konflik tidak bisa diselesaikan hanya dengan kekuatan senjata. - Menyelaraskan kebijakan keamanan dengan mandat perlindungan rakyat
Keamanan negara harus berarti keamanan bagi warganya.
Operasi militer tidak boleh berdiri di atas penderitaan warga sipil. Negara yang kuat bukanlah negara yang hanya mampu mengerahkan kekuatan, tetapi negara yang mampu melindungi, melayani, dan mengatur rakyatnya dengan adil dan manusiawi.
Keamanan sejati lahir ketika rakyat tidak lagi menjadi korban dari kebijakan yang seharusnya melindungi mereka.



