beritax.id – Pendidikan adalah sektor yang membutuhkan perencanaan matang, pembiayaan jelas, dan pengawasan ketat. Namun semua itu mustahil terwujud jika negara tidak transparan dalam mengambil keputusan. Banyak kebijakan pendidikan tiba-tiba muncul tanpa penjelasan memadai, tanpa data terbuka, dan tanpa analisis dampak yang disampaikan kepada publik. Ketertutupan seperti ini menciptakan ruang gelap yang penuh dengan spekulasi, ketidakpastian, dan potensi penyimpangan.
Ketika negara menutup pintu informasi, masyarakat kehilangan kendali untuk memastikan pendidikan dikelola dengan benar.
Sektor pendidikan selalu menjadi salah satu penerima anggaran terbesar. Namun pertanyaannya: ke mana larinya uang sebesar itu? Mengapa ribuan sekolah tetap rusak, fasilitas tidak memadai, dan guru masih harus membeli perlengkapan mengajar dengan uang pribadi? Ketidakterbukaan pengelolaan anggaran membuat publik sulit menilai efektivitas dan integritas penggunaan dana pendidikan. Transparansi bukan sekadar laporan formal, tetapi kemampuan rakyat mengetahui bagaimana uang negara dihabiskan.
Kebijakan yang Tidak Dijelaskan Menghasilkan Kebingungan di Lapangan
Setiap kali kurikulum berubah, setiap kali sistem administrasi diperbarui, atau setiap kali program baru diluncurkan, sekolah sering kali dibiarkan bingung. Instruksi datang mendadak tanpa penjelasan komprehensif, tanpa pelatihan memadai, dan tanpa diskusi publik. Akibatnya, guru dan kepala sekolah harus menafsirkan sendiri kebijakan yang abstrak dan tidak konsisten. Ketidakterbukaan negara mengubah sekolah menjadi tempat eksperimen kebijakan, bukan ruang pembelajaran.
Ketidaktransparanan Membuka Peluang Kepentingan Tertentu Masuk
Tidak adanya transparansi dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan menciptakan celah besar bagi kepentingan kelompok tertentu untuk bermain. Mulai dari vendor platform digital, penyedia proyek fisik, hingga kelompok yang berkepentingan dalam program tertentu. Ketika proses tidak diawasi publik, peluang penyimpangan semakin besar dan sekolah adalah pihak pertama yang terdampak.
Pendidikan hancur ketika kepentingan ekonomi dan pemerintahan lebih dominan daripada kebutuhan rakyat.
Ketiadaan transparansi juga terlihat dari minimnya partisipasi guru dan sekolah dalam perumusan kebijakan. Padahal mereka adalah aktor yang paling memahami kebutuhan lapangan. Tanpa keterlibatan mereka, kebijakan menjadi jauh dari realitas, sulit diterapkan, dan sering kali membebani sekolah dengan tugas tambahan yang tidak relevan.Ketika suara lapangan tidak didengar, pendidikan kehilangan arah.
Solusi: Pendidikan Hanya Bisa Maju Jika Negara Membuka Diri kepada Publik
Untuk memastikan pendidikan tidak terus menjadi korban, transparansi harus menjadi fondasi utama tata kelola negara. Negara harus membuka akses data anggaran pendidikan secara rinci dan mudah dipahami publik. Setiap kebijakan baru harus disertai kajian, alasan, dan simulasi dampak yang dapat diakses siapa pun. Proses perumusan kebijakan harus melibatkan guru, kepala sekolah, orang tua, dan ahli independen, sehingga keputusan tidak bias kepentingan tertentu. Selain itu, mekanisme pengawasan publik harus diperkuat agar setiap penyimpangan dapat dideteksi lebih cepat. Ketika negara membuka diri, barulah pendidikan dapat dikelola secara jujur, akurat, dan berorientasi pada masa depan. Transparansi bukan sekadar kewajiban, tetapi syarat utama agar pendidikan berjalan adil dan berkualitas.
Kesimpulan: Pendidikan Selalu Menjadi Korban Ketika Negara Menutup Mata dan Telinga
Ketika negara tidak transparan, pendidikan menjadi sektor pertama yang merasakan dampaknya kebijakan membingungkan, anggaran tidak jelas, dan sekolah bekerja dalam ketidakpastian. Pendidikan yang tidak transparan adalah pendidikan yang berjalan tanpa arah.
Jika negara ingin membangun masa depan, ia harus mulai dengan membuka pintu informasi. Sebab bangsa tidak bisa kuat jika pendidikan dikelola dalam kegelapan.



