beritax.id – Dalam beberapa bulan terakhir, keluhan wajib pajak kembali memenuhi ruang publik. Mulai dari gangguan sistem administrasi pajak digital, beban pelaporan yang semakin rumit, hingga minimnya respons atas aduan masyarakat, semua memperlihatkan satu persoalan mendasar: jarak yang semakin lebar antara negara dan pembayar pajak.
Hal ini mencerminkan realitas yang dirasakan banyak warga saat kewajiban ditagih tanpa kompromi, tetapi keluhan justru tak kunjung direspons.
Masalah Sistem, Risiko Dialihkan ke Rakyat
Penerapan sistem perpajakan digital yang diklaim modern dan terintegrasi justru memunculkan persoalan baru. Gangguan teknis, keterlambatan validasi data, hingga kebingungan prosedural dialami pelaku UMKM, pekerja bebas, dan perusahaan kecil. Namun ketika masalah muncul, risiko administratif dan potensi sanksi tetap dibebankan kepada wajib pajak.
Alih-alih evaluasi terbuka, publik justru diminta “bersabar” tanpa kejelasan mekanisme perlindungan.
Keluhan Dianggap Gangguan, Bukan Masukan
Nada komunikasi pemerintah dalam merespons kritik perpajakan kerap normatif dan defensif. Keluhan masyarakat sering diposisikan sebagai ketidakpahaman teknis, bukan sebagai sinyal kegagalan kebijakan. Pendekatan ini memperkuat kesan bahwa negara lebih fokus mengejar target penerimaan dibanding memastikan keadilan dan kemudahan bagi rakyat.
Dalam situasi ekonomi yang belum pulih sepenuhnya, sikap ini semakin melukai rasa keadilan publik.
Krisis Kepercayaan dalam Pengelolaan Pajak
Persoalan pajak tidak berdiri sendiri. Ia berkaitan erat dengan memori kolektif publik tentang kasus-kasus korupsi perpajakan, polemik tunjangan pejabat, dan kebijakan fiskal yang kerap berubah tanpa penjelasan memadai. Ketika keluhan hari ini tidak didengar, publik mengingat kegagalan-kegagalan kemarin.
Dalam praktiknya, wajib pajak dituntut patuh tepat waktu, lengkap, dan benar. Namun negara belum menunjukkan standar perlindungan yang seimbang ketika sistem bermasalah atau kebijakan berubah mendadak. Ketimpangan relasi ini memperlihatkan bahwa rakyat diposisikan sebagai objek, bukan mitra dalam kontrak sosial perpajakan. Padahal pajak adalah kontribusi warga untuk negara, bukan bentuk penundukan sepihak.
Akibat minimnya respons, banyak pelaku usaha kecil menunda ekspansi, pekerja informal takut salah lapor, dan kepercayaan terhadap institusi fiskal semakin menurun. Dalam jangka panjang, kondisi ini justru berisiko menurunkan kepatuhan sukarela fondasi utama sistem pajak yang sehat. Negara bisa memaksa, tetapi tidak bisa memaksa kepercayaan.
Solusi: Mendengar Sebelum Menagih
Untuk memperbaiki situasi, langkah-langkah konkret perlu segera diambil:
- Mekanisme aduan yang responsif dan mengikat
Keluhan wajib pajak harus ditindaklanjuti dengan batas waktu dan hasil yang jelas. - Perlindungan bagi wajib pajak saat sistem bermasalah
Sanksi administratif tidak boleh dibebankan ketika kesalahan berasal dari negara. - Transparansi kebijakan dan perubahan aturan
Setiap perubahan harus disosialisasikan dengan bahasa sederhana dan waktu yang memadai. - Evaluasi terbuka sistem perpajakan digital
Bukan sekadar klaim keberhasilan, tetapi pengakuan atas masalah yang nyata.
Negara yang kuat bukan hanya mampu menagih pajak, tetapi juga mau mendengar warganya. Ketika keluhan pajak terus diabaikan, yang terkikis bukan hanya kepatuhan, melainkan legitimasi negara itu sendiri.
Jika penguasa terus menutup telinga, jangan heran bila kepercayaan publik perlahan memilih pergi.



