Pemeriksaan Pajak: Antara Keadilan dan Kesewenang-wenangan Fiskus
Dalam konteks hukum, pemeriksaan pajak seharusnya menjadi instrumen keadilan dan kepastian hukum. Namun, dalam praktiknya, hal ini sering berubah menjadi momok menakutkan bagi Wajib Pajak (WP).
Kesewenang-wenangan kerap muncul dalam bentuk tindakan tanpa prosedur yang semestinya, penafsiran sepihak yang mengabaikan alat bukti, atau pengabaian hak WP untuk didengar dan memperoleh salinan dokumen.
Lebih jauh, penetapan kewajiban yang tidak berdasar pada norma materiil yang berlaku serta penggunaan instrumen pemaksaan secara tidak proporsional memperburuk kondisi tersebut.
Akibatnya, pemeriksaan pajak yang dilakukan tanpa memperhatikan ketentuan hukum justru menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap otoritas pajak. Ketika WP merasa diperlakukan tidak adil, mereka kehilangan motivasi untuk patuh secara sukarela. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengganggu efektivitas sistem perpajakan nasional.
Kesewenang-wenangan Fiskus dan Dampaknya bagi Wajib Pajak
Pemeriksaan pajak merupakan bagian penting dari sistem perpajakan yang sehat. Namun, tidak sedikit WP yang merasa khawatir dan tertekan saat menghadapinya. Kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan.
Beberapa oknum fiskus terkadang bertindak melampaui batas kewenangan, bahkan melakukan intimidasi atau mencari kesalahan yang tidak substansial.
Secara hukum, kewenangan fiskus dibatasi oleh asas legalitas, kepastian hukum, proporsionalitas, dan akuntabilitas. Sayangnya, di ruang antara diskresi yang sah dan kepatuhan prosedural, masih terdapat potensi penyimpangan.
Kesewenang-wenangan ini dapat berupa permintaan dokumen yang tidak relevan, penagihan tanpa dasar hukum yang jelas, atau penafsiran norma secara sepihak untuk menguntungkan negara.
Akibatnya, muncul ketimpangan dalam hubungan hukum antara fiskus dan WP. Hubungan yang seharusnya bersifat profesional dan seimbang justru menjadi timpang dan menurunkan rasa percaya terhadap sistem perpajakan.
Penagihan Pajak yang Tidak Sesuai Ketentuan
Dalam sistem perpajakan yang ideal, pemeriksaan dan penagihan pajak dilakukan untuk memastikan kepatuhan, bukan mencari kesalahan. Sayangnya, praktik penagihan yang tidak sesuai ketentuan masih sering terjadi.
Penagihan pajak yang tidak sesuai ketentuan merupakan tindakan pejabat pajak tanpa dasar hukum yang sah. Hal ini terjadi ketika penagihan dilakukan tanpa keputusan atau ketetapan pajak yang telah diberitahukan secara patut kepada WP.
Tindakan seperti ini melanggar prinsip good governance dan bertentangan dengan asas kepastian hukum.
Selain itu, penagihan yang dilakukan tanpa memenuhi syarat formil maupun materiil menjadikan tindakan tersebut cacat hukum. Dalam hukum acara perpajakan, penagihan semacam ini tidak memiliki kekuatan eksekutorial dan dapat dinyatakan batal.
Membangun Kepercayaan Melalui Penegakan Hukum dan Transparansi
Praktik penagihan yang tidak sesuai aturan merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Lebih jauh, hal ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi karena pelaku usaha enggan membayar pajak jika merasa diperlakukan tidak adil.
Oleh sebab itu, pemerintah memiliki kewajiban untuk memastikan penagihan dilakukan sesuai ketentuan.
Langkah yang dapat ditempuh antara lain:
- Meningkatkan pengawasan terhadap aparat pajak,
- Memberikan sanksi tegas terhadap pelanggaran, dan
- Menyediakan mekanisme pengaduan yang mudah diakses oleh masyarakat.
Selain itu, perlu dilakukan sosialisasi hak dan kewajiban WP agar masyarakat lebih memahami aturan dan tidak mudah menjadi korban penagihan yang menyimpang.
Dengan penegakan hukum yang tegas dan sistem perpajakan yang transparan, diharapkan praktik kesewenang-wenangan dan penagihan pajak yang tidak sesuai ketentuan dapat diminimalkan.
Sistem perpajakan yang adil, akuntabel, dan terpercaya akan menjadi fondasi penting bagi pembangunan nasional dan kesejahteraan masyarakat.



