Ketika Hati Bangsa Dikhianati oleh Duniawi
Oleh : Rinto Setiyawan, A.Md.T, CTP (Direktur Riset Sekolah Negarawan X Institute)
beritax.id – Dalam sistem negara yang utuh, kaum agama dan tokoh spiritual berperan sebagai “hati” atau “ruh” bangsa. Mereka adalah penjaga moral, pengarah nilai, serta pengingat tujuan luhur berbangsa dan bernegara. Seharusnya, peran ini menyatu erat dengan rakyat sebagai jiwa kolektif (pancer), bukan terpisah. Namun yang terjadi hari ini adalah paradoks tragis: kaum spiritual justru terjebak menyembah simbol duniawi, kekuasaan, jabatan, dan yang paling mengkhawatirkan, uang.
Spiritual Hati Tanpa Jiwa: Ketika Agama Jadi Elit dan Ritualistik
Kaum spiritual seharusnya menjadi penuntun nurani bangsa. Namun kini, ajaran agama semakin terputus dari kehidupan rakyat sehari-hari. Masjid megah, gereja besar, vihara dan pura yang berkilau, tapi suara hati rakyat yang kelaparan dan teraniaya jarang disentuh.
Agama semakin dijalankan sebagai ritual formalitas, bukan sebagai pembebas. Tafsir agama lebih sibuk mengurusi kosmetik ibadah dan seremonial moralitas, ketimbang menyelami penderitaan sosial ekonomi umat. Ulama dan pemuka agama pun lebih akrab dengan istana dan penguasa, daripada dengan petani, buruh, atau rakyat miskin.
Ini seperti hati yang tak lagi menyatu dengan jiwa: hidup sebagai organ, tetapi kehilangan makna. Ia berdetak, tapi tidak mengalirkan empati.
Rakyat Kehilangan Arah Moral
Saat kaum spiritual menjauh dari rakyat, yang lahir bukan kesadaran, tapi kekosongan. Dalam ruang kosong batin inilah muncul ekstremisme dan nihilisme. Di satu sisi, lahir generasi yang menyalahgunakan agama untuk kebencian. Di sisi lain, banyak yang sepenuhnya meninggalkan nilai spiritual dan terperosok dalam kekosongan makna.
Korupsi merajalela, kekerasan meningkat, konflik horizontal mudah tersulut. Mengapa? Karena tak ada ruh moral yang membimbing bangsa ini secara utuh. Dakwah hanya menggema di YouTube, khutbah hanya mengisi jadwal birokrasi. Sementara rakyat mengais keadilan dan nilai hidup yang nyata, tak kunjung datang.
Agama Dijual, Dakwah Dikeruk: Fanatisme tanpa Kasih
Lebih buruk lagi, agama kini dikomersialkan. Dakwah menjadi pasar popularitas, ceramah dijadikan bisnis endorsement. Ada ustaz yang lebih sibuk menyusun tarif ceramah daripada menangis bersama rakyat. Ada tokoh spiritual yang mencalonkan diri hanya demi kuasa, bukan demi umat.
Agama dijadikan alat kekuasaan, bukan cahaya pembebas. Ayat digunakan untuk membenarkan kekuasaan, bukan untuk membebaskan manusia dari belenggu penindasan. Ini bukan lagi penyimpangan; ini pengkhianatan terhadap fungsi spiritual dalam bernegara.
Filsafat Jawa: Agama Adalah Rasa, dan Rasa Harus Bersatu dengan Jiwa
Dalam filsafat Jawa, agama bukan sekadar aturan, tapi rasa. Dan rasa hanya hidup jika menyatu dengan jiwa rakyat. Jika terputus, negara hanya akan tampak agamis di permukaan, berkulit religius tapi kosong batin. Simbol-simbol agama ramai dipakai pejabat, namun keputusan politik yang mereka ambil jauh dari rasa keadilan, kasih, dan keberpihakan.
Maka dalam konteks sistem negara, kaum spiritual yang terpisah dari rakyat bukan lagi cahaya bangsa, tapi justru menjadi pengabur nurani. Hati negara menjadi kotor, karena ruh moralnya sudah disulap menjadi transaksi.
Solusi: Reintegrasi Hati dan Jiwa Bangsa
Untuk menyelamatkan bangsa ini dari kehampaan moral, perlu dilakukan revolusi spiritual dalam sistem negara. Amandemen Kelima UUD 1945 harus membuka jalan untuk:
- Mengembalikan peran spiritual sebagai penjaga nilai, bukan pendukung kekuasaan;
- Memastikan kaum agama dan spiritualitas menyatu dengan struktur negara secara sejati, bukan sekadar sebagai penasehat simbolis;
- Melindungi ruang keagamaan dari eksploitasi kekuasaan dan ekonomi;
- Mewajibkan pendidikan spiritual dan etika kenegaraan sebagai syarat kepemimpinan.
“Jika hati bangsa telah tersandera oleh dunia, maka bangsa itu akan kehilangan jalan pulangnya. Kita butuh ruh baru, bukan slogan kosong. Kita butuh kasih, bukan hanya ritual.”