beritax.id – Ketika rakyat menjerit, dan para pejabat justru sibuk memoles pencitraan, muncul pertanyaan yang tak bisa dielakkan: masihkah pemerintah memiliki hati nurani?
Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Indonesia terus dihantam oleh kenaikan harga kebutuhan pokok. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), per Mei 2025, inflasi tahunan mencapai 3,52%, dipicu oleh kenaikan harga beras, cabai, dan daging ayam. Sementara itu, tarif listrik nonsubsidi naik per April 2025, menyentuh angka Rp1.800 per kWh, mengikuti mekanisme penyesuaian tarif tenaga listrik (Tariff Adjustment). Namun, pendapatan mayoritas rakyat tidak ikut naik. Data BPS menyebutkan, rata-rata upah buruh nasional hanya tumbuh 1,2% dibanding tahun lalu, bahkan di bawah laju inflasi.
Di sisi lain, PHK terjadi di berbagai sektor. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat lebih dari 190.000 pekerja terkena PHK sepanjang 2024, mayoritas berasal dari industri padat karya. UMKM pun megap-megap. Studi dari LPEM UI menunjukkan bahwa lebih dari 40% UMKM masih kesulitan mengakses pembiayaan, apalagi ditambah biaya produksi yang meningkat.
Subsidi dicabut, namun bantuan sosial (bansos) kerap salah sasaran. Laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) 2024 menyebutkan bahwa sebanyak 34% penerima bansos tidak masuk kategori miskin, sementara 27% keluarga miskin tidak menerima bansos sama sekali, akibat data kependudukan yang tidak akurat dan manipulasi data oleh oknum pejabat daerah.
Sementara itu, kita melihat pejabat negara bergaya hidup ala sultan. Pamer mobil mewah, rumah mewah, hingga liburan ke luar negeri. Padahal, gaji resmi pejabat publik tidak cukup menjelaskan kekayaan mereka. Sebagai contoh, berdasarkan laporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara NegaraKomisi Pemberatasan Korupsi (LHKPN KPK), ada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang melaporkan harta mencapai puluhan miliar rupiah, tanpa kejelasan sumber penghasilan yang sah. Ini bukan satu dua kasus, tapi menjadi pola.
Kekuasaan Pemerintah Indonesia Sebagai Investasi, Bukan Pengabdian
Fenomena “jabatan publik sebagai investasi” bukan isapan jempol. Biaya kampanye untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau anggota legislatif bisa mencapai miliaran rupiah. Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan bahwa dalam Pemilu 2024, calon legislatif DPR RI menghabiskan rata-rata Rp1,2 miliar per kursi. Dan tentu saja, tidak ada investasi tanpa keinginan balik modal. Di sinilah celah korupsi muncul.
Proyek fiktif, mark-up anggaran, suap, dan fee proyek menjadi cara ‘balik modal’. Tak heran jika dalam laporan Transparency International 2023, Indonesia menempati peringkat ke-115 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi (CPI) dengan skor hanya 34/100, stagnan dalam lima tahun terakhir.
Demokrasi Dijadikan Transaksi Oleh Oknum
Apa yang seharusnya menjadi alat rakyat untuk menentukan masa depan, yaitu demokrasi ternyata telah berubah menjadi ajang transaksi. Partai politik lebih sibuk memburu kursi, bukan memperjuangkan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Kita menyaksikan bagaimana sistem pemerintahan dikuasai oleh oligarki, yang mendanai kampanye para kandidat demi keuntungan ekonomi dan proyek.
Bantuan salah sasaran? Karena data dimanipulasi untuk kepentingan.
Proyek infrastruktur mangkrak? Karena orientasi bukan pada hasil, tapi pada fee proyek.
Rakyat tidak sejahtera? Karena mereka memang tidak masuk prioritas kebijakan. Prioritasnya adalah kroni, tim sukses, dan sponsor kampanye.
Pemerintah Indonesia: TKI, Bukan Majikan
Sudah saatnya kita mengingatkan kembali: pemerintah bukanlah majikan, melainkan karyawan rakyat. Mereka digaji dari pajak tukang ojek, petani, nelayan, buruh pabrik, hingga pedagang pasar. Namun realitasnya? Banyak pejabat justru memperlakukan jabatan seolah milik pribadi. Bertingkah seperti bangsawan, hidup di balik pagar tinggi, naik mobil dinas, dan dikawal ketat—seakan rakyat adalah ancaman, bukan tuan yang harus dilayani.
Gaji mereka dibayar oleh rakyat. Tapi ketika rakyat bersuara, mereka dibungkam. Aspirasi dianggap gangguan, kritik dianggap penghinaan, bahkan kriminalisasi terhadap pengkritik makin sering terjadi. Indonesia tidak akan runtuh karena perang, tapi karena kesombongan para pemimpinnya.
Solusi: Amandemen dan Reformasi Sistemik Pemerintah Indonesia
Pergantian orang bukanlah jawaban. Kita butuh reformasi sistemik. Dalam hal ini, usulan untuk Amandemen Kelima UUD 1945 seperti yang disampaikan oleh Sekolah Negarawan bukan tanpa alasan.
Sekolah Negarawan mengusulkan supaya pada Indonesia mendesain ulang struktur ketatanegaraan di Indonesia. Terutama untuk mengembalikan rakyat ke kekuasaan tertinggi di negara ini dalam struktur ketatanegaraan serta memisahkan negara dan pemerintah.
Banyak pihak menilai bahwa amandemen yang dilakukan pada era reformasi justru memberi ruang terlalu besar pada liberalisasi dan dominasi partai. Menurut Prof. Yusril Ihza Mahendra, UUD 1945 yang asli memberi porsi lebih besar kepada musyawarah dan representasi rakyat secara menyeluruh, bukan hanya pemimpin partai.
Dengan konstitusi yang lebih berkeadilan, kita bisa memastikan bahwa kekuasaan benar-benar kembali ke tangan rakyat. Bukan dikuasai oleh segelintir pejabat dan pemilik modal.
Rakyat Bukan Objek, Tapi Pemilik Negeri Ini
Indonesia tidak akan benar-benar merdeka jika rakyat hanya dijadikan objek kebijakan, bukan pemilik sah negara ini. Kedaulatan rakyat bukan sekadar semboyan. Ia harus terwujud dalam anggaran, kebijakan, dan distribusi kekuasaan.
Masihkah pemerintah punya hati nurani? Kalau masih, maka seharusnya suara rakyat didengar, bukan dibungkam. Kalau tidak, maka sudah waktunya rakyat menyadari bahwa mereka punya hak bahkan kewajiban untuk mengambil kembali kedaulatan itu.