beritax.id – Sikap yang sangat memalukan dan salah terus ditunjukkan Kejaksaan yang belum mengeksekusi Silfester Matutina. Sudah lebih dari enam tahun sejak Mahkamah Agung menjatuhkan putusan berkekuatan hukum tetap terhadap Silfester Matutina dalam perkara pencemaran nama baik Jusuf Kalla. Namun hingga kini, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan belum juga melakukan eksekusi.
Putusan itu seolah hanya menjadi teks hukum tanpa daya paksa. Terpidana tetap hidup normal, bahkan pernah menjabat komisaris di salah satu BUMN. Alasan Kejaksaan yang beredar ke publik justru menimbulkan ironi. Mereka menyebut adanya kendala administratif dan penelusuran keberadaan terpidana. Padahal, Silfester tidak bersembunyi. Ia tetap aktif di media sosial dan tampil di ruang publik. Fenomena ini menjadi pukulan keras terhadap kredibilitas penegak hukum sekaligus tamparan bagi konsep negara hukum yang seharusnya menempatkan hukum di atas kekuasaan.
Kritik Partai X: Hukum Tanpa Eksekusi Adalah Hukum yang Mati
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menilai penundaan eksekusi ini adalah bukti kehancuran prinsip keadilan dan moralitas hukum.
“Negara hukum bukan negara basa-basi. Bila putusan pengadilan tak dijalankan, maka hukum sudah kehilangan nyawanya,” tegas Rinto.
Ia menambahkan, aparat penegak hukum telah menodai kepercayaan publik dan mempermainkan martabat konstitusi. Rinto menegaskan kembali, tugas negara itu tiga melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Ketika Kejaksaan lalai menegakkan hukum, maka ketiga tugas itu gagal dijalankan.
“Hukum harus menegakkan keadilan, bukan melindungi kekuasaan. Jika Kejaksaan tunduk pada kekuasaan, rakyat menjadi korban pertama,” ujarnya.
Partai X melihat kelalaian ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap prinsip dasar negara hukum: keadilan, kepastian, dan kesetaraan di hadapan hukum.
Prinsip Partai X: Negara Bukan Alat Kekuasaan, Pemerintah Pelayan Rakyat
Partai X menegaskan, negara harus dijalankan berdasarkan tiga unsur: wilayah, rakyat, dan pemerintah. Pemerintah hanyalah bagian kecil dari rakyat yang diberi mandat untuk bekerja secara efektif, efisien, dan transparan demi keadilan dan kesejahteraan rakyat. Namun, dalam praktik hari ini, pemerintah dan lembaga penegak hukum sering bertindak seolah mereka pemilik negara.
Kejaksaan yang tidak mengeksekusi putusan inkracht memperlihatkan bahwa hukum telah tunduk pada kekuasaan. Dalam analogi Partai X, negara seperti bus, rakyat adalah pemiliknya, sedangkan pejabat hanyalah sopir. Jika sopir ugal-ugalan dan tidak membawa penumpang ke tujuan, maka pemilik berhak menegur bahkan menggantinya. Begitulah seharusnya logika negara hukum bekerja: rakyat memegang kedaulatan, pemerintah menjalankan mandat, bukan sebaliknya.
Solusi Partai X: Pulihkan Marwah Hukum dan Tegakkan Akuntabilitas Negara
Partai X menawarkan solusi sistemik agar hukum kembali tegak tanpa pandang bulu. Pertama, Musyawarah Kenegarawanan Nasional harus segera digelar untuk menilai ulang integritas lembaga penegak hukum dan membangun desain kenegarawanan baru yang independen. Kedua, pemisahan tegas antara negara dan pemerintah, agar pelaksanaan hukum tidak bergantung pada loyalitas kekuasaan atau tekanan rezim. Ketiga, reformasi hukum berbasis kepakaran, yang menempatkan penegakan hukum di tangan profesional, bukan birokrat berpihak.
Keempat, audit internal dan publikasi transparan atas seluruh eksekusi perkara pidana inkracht, termasuk kasus Silfester Matutina, untuk memastikan tidak ada intervensi kekuasaan. Kelima, pendidikan moral dan berbasis Pancasila bagi aparat penegak hukum, agar mereka kembali memahami tanggung jawabnya sebagai pelayan rakyat, bukan alat penguasa. Rinto menekankan, solusi ini bukan hanya agenda reformasi hukum, tetapi juga penyelamatan moralitas negara.
Penutup: Negara Hukum Bukan Negara Kekuasaan
Partai X menegaskan, penundaan eksekusi Silfester Matutina telah mengubah wajah negara hukum menjadi negara kekuasaan. Ketika hukum dapat dinegosiasikan dan putusan pengadilan bisa ditunda tanpa alasan sah, maka rakyat kehilangan perlindungan. Negara yang gagal menegakkan keadilan adalah negara yang menelantarkan rakyatnya. Partai X mengingatkan, hukum adalah benteng terakhir peradaban, bukan alat legitimasi kekuasaan. Sebagaimana ditegaskan Partai X, negara bukan rezim, dan rezim bukan negara. Sudah saatnya Kejaksaan membuktikan diri sebagai pelaksana hukum yang setia pada rakyat, bukan pada kekuasaan. Jika tidak, maka rakyatlah yang akan menjadi korban dari hukum yang dibiarkan lumpuh.