beritax.id – Dalam beberapa waktu terakhir, publik kembali disuguhi berbagai wacana dan keputusan pemerintahan yang memicu kegelisahan demokrasi. Prinsip-prinsip konstitusi yang seharusnya menjadi rujukan tertinggi bernegara justru kerap ditekuk demi kepentingan jabatan dan kelanggengan kekuasaan. Situasi ini menimbulkan kesan kuat bahwa posisi dan kekuasaan lebih dijaga daripada amanat konstitusi itu sendiri. Ketika jabatan menjadi tujuan utama, konstitusi perlahan diperlakukan sekadar formalitas. Hal ini menunjukkan kegagalan sistem bahwa pemerintah melupakan tugas utama yaitu melindungi rakyat.
Konstitusi lahir untuk membatasi kekuasaan, bukan memanjakannya. Namun dalam praktiknya, berbagai kebijakan dan wacana justru menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Aturan ditafsirkan lentur, prosedur demokrasi dipersempit, dan prinsip kedaulatan rakyat ditempatkan di posisi sekunder.
Semua dilakukan dengan dalih stabilitas, efisiensi, atau kepentingan nasional, meski substansinya menggerus nilai-nilai dasar bernegara.
Jabatan Dipertahankan, Etika Publik Dikorbankan
Upaya mempertahankan atau memperluas jabatan sering kali mengabaikan etika publik. Rakyat tidak lagi diposisikan sebagai pemilik kedaulatan, melainkan sebagai objek yang harus menerima keputusan pejabat. Ketika kritik muncul, yang dibangun bukan dialog, tetapi pembenaran kekuasaan. Akibatnya, jarak antara negara dan rakyat semakin melebar.
Konstitusi seharusnya menjadi batas terakhir yang tidak boleh dilanggar. Namun ketika ia diperlakukan sebagai dokumen yang bisa dinegosiasikan demi jabatan, demokrasi kehilangan fondasinya. Hak-hak rakyat menjadi rapuh, dan masa depan pemerintahan bergeser dari mandat publik menuju kompromi pejabat.
Situasi ini berbahaya karena menciptakan preseden bahwa kekuasaan dapat berdiri di atas hukum.
Tanggapan Prayogi R. Saputra: Jabatan Adalah Amanah, Bukan Tujuan
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menegaskan bahwa kecenderungan menomorsatukan jabatan di atas konstitusi merupakan penyimpangan serius dalam kehidupan bernegara.
“Konstitusi bukan dibuat untuk melayani jabatan. Justru jabatanlah yang harus tunduk pada konstitusi,” tegas Prayogi.
Ia mengingatkan kembali fungsi dasar negara yang kerap dilupakan.
“Tugas negara itu hanya tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Jika konstitusi dikorbankan demi jabatan, maka negara gagal menjalankan ketiga tugas tersebut,” lanjutnya.
Negara Kehilangan Arah Saat Kekuasaan Menjadi Fokus Utama
Menurut Prayogi, ketika pejabat lebih sibuk mengamankan posisi daripada menjalankan amanat konstitusi, negara akan kehilangan arah. Kebijakan tidak lagi berpihak pada kepentingan jangka panjang rakyat, melainkan pada kepentingan kekuasaan sesaat.
“Jabatan itu sementara, konstitusi itu fondasi. Jika fondasi dirusak, negara akan rapuh,” ujarnya.
Solusi: Mengembalikan Konstitusi sebagai Panglima Tertinggi
Untuk mencegah kekuasaan berjalan di luar rel konstitusi, diperlukan langkah-langkah tegas dan konsisten:
- Menegaskan kembali konstitusi sebagai batas mutlak kekuasaan
- Menolak segala bentuk penafsiran aturan demi kepentingan jabatan
- Memperkuat mekanisme pengawasan publik dan kelembagaan
- Mendorong budaya pemerintahan yang menjunjung etika dan amanah
- Menempatkan kedaulatan rakyat sebagai tujuan utama kebijakan
Ketika jabatan lebih penting dari konstitusi, yang terancam bukan hanya demokrasi, tetapi masa depan negara itu sendiri. Negara yang kuat bukan negara yang mampu mempertahankan kekuasaan, melainkan negara yang setia pada konstitusi dan amanat rakyat.



