Oleh: Rinto Setiyawan , A.Md., S.H., CTP
Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Ada satu “nasihat” yang belakangan terdengar sederhana, bahkan terdengar masuk akal kalau kita dengar sepintas: kalau ada aturan yang kontroversial, ya sudah, bawa saja judicial review ke MA atau MK. Jimly Asshiddiqie, misalnya, dalam polemik Perpol 10/2025, menyebut bahwa pihak yang tidak setuju bisa “bawa ke Mahkamah Agung aja” untuk diuji.
Masalahnya: nasihat itu terdengar bijak hanya kalau kita pura-pura lupa satu hal paling penting bahwa jalan menuju uji materi itu tidak gratis, tidak sederhana, dan tidak otomatis terbuka untuk semua orang. Dalam praktik, “uji belakangan” sering berarti: rakyat menanggung risiko dulu, baru kemudian (kalau kuat, kalau sempat, kalau punya biaya, kalau lolos legal standing, kalau tidak kehabisan tenggat) bisa menggugat.
Dan di titik inilah kalimat Cak Nun seperti menohok logika nyaman para elite: kita sedang masuk fase “penjajahan regulasi” cara “maling” bukan lagi sekadar mengambil uang, tapi mengubah aturan agar pencurian tampak legal.
Kalau iklimnya sudah seperti itu, maka doktrin “aturan dulu, uji belakangan” bukan netral. Ia berpotensi menjadi karpet merah bagi kekuasaan untuk bereksperimen dengan regulasi, sambil menjadikan rakyat sebagai kelinci percobaan.
“Bawa ke MA/MK aja” itu kalimat pejabat—bukan kalimat korban
Jimly bahkan mengurai “celah” Perpol 10/2025: menimbang dan mengingatnya tidak mencantumkan Putusan MK, sehingga mudah dicari salahnya dan dapat jadi dasar uji materi ke MA.
Oke. Tetapi mari kita bedah realitasnya.
Di Mahkamah Agung, pemohon HUM (Hak Uji Materiil) disyaratkan menganggap haknya dirugikan, ada hubungan sebab-akibat (causal verband), dan ada argumentasi bahwa bila dikabulkan, kerugian tidak akan terjadi lagi.
Artinya apa? Secara praktis, “bawa ke MA” sering bukan soal setuju-tidak setuju melainkan soal siapa yang bisa membuktikan dirinya terluka.
Di Mahkamah Konstitusi, problem tambah tajam. Untuk uji formil, tenggatnya paling lama 45 hari sejak UU diundangkan. Di atas kertas, itu rapi. Di lapangan, sering kali rakyat baru paham dampak aturan setelah aturan bekerja, setelah turunan teknis keluar, setelah aparat memakai pasal tertentu untuk “menertibkan”, setelah korban muncul. Ketika korban akhirnya “melek” dan siap menggugat, jamnya bisa sudah habis.
Jadi, ketika tokoh besar mengatakan “kalau tidak terima, uji saja”, ada pertanyaan yang wajib dia jawab (minimal secara moral):
siapa yang menanggung risiko selama proses itu?
Analogi yang jujur: pejalan kaki ditabrak, lalu disuruh urus rumah sakit sendiri
Bayangkan begini.
Anda pejalan kaki (rakyat). Anda ditabrak kendaraan (sebuah regulasi atau praktik aparatur). Kaki patah (hak Anda nyata-nyata dirugikan).
Lalu ada pejabat bilang: “Tenang, kalau tidak terima, kamu bisa kok gugat.”
Masalahnya: untuk menggugat, Anda harus:
- Membuktikan dulu bahwa kaki benar-benar patah (legal standing/kerugian).
- Mengurus berkas, dokter, biaya, waktu, energi (prosedur).
- Menghadapi proses panjang yang belum tentu menerima Anda sebagai “pasien yang sah”.
- Dan bahkan setelah diterima, putusan bisa menolak karena alasan formal, bukan menyentuh substansi.
Ini bukan hiperbola. Ini adalah desain sistemik yang membuat “uji belakangan” jadi kalimat yang nyaman di atas podium, tapi menyiksa di bawah.
Kalau Anda wajib pajak, Anda paham rasanya: “pasal sakti” mengalahkan bukti
Dalam sengketa pajak, banyak wajib pajak merasakan satu pola pahit: bukti lengkap, argumentasi rapi, tetapi kandas oleh frasa yang “sakti” karena memberi ruang luas pada tafsir: penilaian pembuktian dan keyakinan hakim.
Itu persis yang sedang diuji PT Arion Indonesia di MK: mereka mempersoalkan Pasal 78 UU Pengadilan Pajak, terutama frasa “hasil penilaian pembuktian” dan “keyakinan Hakim”, karena dalam praktik bisa membuat putusan tidak transparan terhadap seluruh alat bukti yang diajukan.
Perhatikan simboliknya: yang digugat bukan sekadar hasil putusan, tapi mekanisme yang memungkinkan bukti “kalah” dari keyakinan yang tidak wajib dijelaskan secara lengkap. Dan ini penting: ketika “keyakinan” tidak dipagari oleh kewajiban mengurai bukti, rakyat sedang berhadapan dengan sesuatu yang sulit dikontrol secara rasional.
Di sinilah ironi “aturan dulu, uji belakangan” makin telanjang. Karena untuk menggugat norma seperti itu, pemohon harus menunjukkan dirinya korban, lalu membawa seluruh beban pembuktian ke depan, dan tetap menghadapi risiko permohonan tidak diterima atau ditolak.
Doktrin yang tampak moderat, tapi berbahaya dalam era “penjajahan regulasi”
Dalam negara yang sehat, judicial review adalah rem. Tetapi rem itu bekerja kalau:
- aksesnya realistis,
- tenggatnya adil,
- informasinya terbuka,
- dan korban tidak dibebani prosedur yang membuat mereka tumbang sebelum masuk ruang sidang.
Namun dalam konteks yang digambarkan Cak Nun—penjajahan regulasi—doktrin “buat dulu aturannya, kalau salah nanti diuji” bisa berubah fungsi: dari mekanisme koreksi menjadi strategi kekuasaan.
Logikanya begini:
- Aturan dibuat.
- Aturan dipakai.
- Dampak terjadi ke rakyat.
- Rakyat disuruh uji.
- Rakyat lelah/kehabisan waktu/biaya/tenggat.
- Aturan tetap jalan.
Kalau ini berulang, maka “uji belakangan” bukan lagi mekanisme kontrol. Ia jadi ritual legitimasi: seolah-olah ada jalan koreksi, padahal jalan itu penuh pagar.
Jadi, Jimly harus belajar apa dari Cak Nun?
Belajar bahwa masalahnya bukan sekadar ada atau tidak ada kanal JR. Kanal JR bisa ada, tetapi tetap tidak adil bila desainnya membuat rakyat wajib berdarah-darah dulu untuk sekadar mengetuk pintu.
Belajar bahwa yang perlu dibahas bukan cuma “kewenangan MA/MK untuk menguji”, tetapi kewajiban moral pembentuk regulasi untuk:
- menyusun norma dengan disiplin (tidak asal),
- memastikan publik bisa mengakses naskah final dengan cepat,
- membuka partisipasi bermakna,
- dan mencegah aturan “uji coba” yang risikonya dipikul warga.
Kalau seorang negarawan serius, dia tidak akan berhenti di kalimat: “kalau salah, uji saja.”
Dia akan bertanya dulu: berapa banyak korban yang harus lahir sebelum kesalahan itu bisa diuji?
Dan kalau jawabannya: “ya memang begitu prosedurnya,” maka itu bukan negara hukum yang menenangkan. Itu negara prosedur yang dingin—yang justru memberi ruang pada “penjajahan regulasi” untuk tumbuh subur.



