beritax.id – Jika Anda masih mengira Indonesia baik-baik saja, maka Anda sedang hidup dalam ilusi. Indonesia kini bukan sekadar berada di jalan menuju kehancuran, kita sudah berdiri tepat di ambangnya. Yang lebih mengkhawatirkan, banyak pihak di pemerintahan justru bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Mereka menutup mata terhadap tanda-tanda keruntuhan sistemik, dan kita semua dipaksa untuk diam melihatnya.
Pemerintah Bukan Lagi Solusi?
Kepercayaan publik terhadap pemerintah berada pada titik nadir. Dalam survei Indikator Politik Indonesia (Mei 2024), hanya 34,2% responden yang puas dengan kinerja pemerintah pusat, sementara sisanya menilai pemerintah gagal menyelesaikan masalah pokok rakyat seperti ekonomi, pendidikan, dan lapangan kerja.
Di tengah lonjakan harga bahan pokok, tingginya angka pengangguran, dan beban hidup yang makin berat, pemerintah justru lebih sibuk membangun citra seperti berpose, membuat konten media sosial, dan menggulirkan narasi seolah semuanya terkendali. Padahal rakyat di lapangan menghadapi kenyataan yang jauh dari itu.
Retorika “ekonomi pulih” tidak tercermin di pasar. Harga beras sempat mencapai rekor tertinggi Rp16.000/kg di awal 2024 (BPS, 2024). Sementara itu, laporan dari International Labour Organization (ILO) mencatat bahwa tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 5,32% per Februari 2024, artinya lebih dari 7 juta orang masih menganggur.
Mentalitas Pemerintah yang Lemah Akibatkan Kehancuran Indonesia
Kesenjangan sosial di Indonesia sudah memasuki fase kronis. Laporan Oxfam 2023 menyebut bahwa empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 100 juta penduduk termiskin. Ini bukan sekadar kesenjangan tetapi ini jurang pemisah antara oligarki dan rakyat.
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang menyumbang lebih dari 60% PDB nasional dan menyerap 97% tenaga kerja (Kemenkop UKM, 2023) justru tidak mendapat dukungan maksimal. Banyak dari mereka terhimpit oleh aturan yang menyulitkan, kurangnya akses modal, serta kalah bersaing dengan pemain besar.
Pernyataan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, yang menyebut “korupsi di BUMN tidak bisa dihilangkan, hanya bisa diminimalisir,” adalah cermin dari mentalitas menyerah. Padahal menurut BPK, kerugian negara akibat penyimpangan di BUMN mencapai lebih dari Rp28 triliun pada 2022. Jika korupsi dianggap “tak terelakkan,” lalu apa bedanya pemerintah dengan mafia anggaran?
Tolak Normalisasi Korupsi Agar Kehancuran Indonesia Tidak terjadi
Di tengah segala persoalan, sebagian masyarakat pun memilih diam. Bukan karena tidak peduli, tapi karena takut. Takut dicap pembangkang, takut kehilangan akses, dan takut kehilangan proyek.
Namun sikap bungkam ini justru menyuburkan akar korupsi. Ketika koruptor dielu-elukan karena pernah membantu proyek, atau saat masyarakat menyamakan kritik sebagai bentuk kebencian, maka negara sedang bergerak ke arah disfungsi moral.
Narasi “kami ini rakyat kecil, apa bisa buat apa-apa?” hanyalah pembenaran untuk pasrah. Padahal sejatinya rakyat adalah pemilik kedaulatan dan pemerintah adalah pelayan rakyat. Kalimat itu adalah pengkerdilan mindset yang tidak boleh dinormalisasikan.
Transparansi adalah Kewajiban
Pemerintah adalah pelayan publik, bukan penguasa absolut. Kita sebagai rakyat berhak menuntut transparansi atas setiap kebijakan, terutama soal anggaran negara. Utang Indonesia per Mei 2024 tercatat mencapai Rp8.262,6 triliun, atau sekitar 38,3% dari PDB (Kemenkeu, 2024). Tapi hingga kini, masih minim laporan publik yang menjelaskan penggunaan utang secara detail dan dampaknya terhadap kesejahteraan rakyat.
Kita punya hak bertanya:
- Digunakan untuk apa utang sebesar itu?
- Mengapa infrastruktur masif tidak sebanding dengan peningkatan kesejahteraan?
- Siapa yang paling diuntungkan dari proyek-proyek besar yang dibiayai utang?
Kritik yang tajam dan data yang jelas adalah bentuk cinta terhadap bangsa. Bukan nyinyir, bukan benci. Karena tanpa akuntabilitas, uang rakyat akan terus bocor dan negara ini akan kian tenggelam dalam krisis kepercayaan.
Solusi Penyembuhan Bangsa
Bangsa ini sakit. Tapi bukan tidak bisa disembuhkan. Diperlukan keberanian, kemauan rakyat, dan reformasi sistemik untuk menyelamatkan negeri ini. Berikut sembilan langkah konkret yang ditawarkan Partai X:
- Amandemen Kelima UUD 1945 dengan acuan UUD 1945 yang asli agar kedaulatan dimiliki dan dikuasai oleh rakyat.
- Reformasi Hukum melalui Sistem Kepakaran (Expert System).
- Reformasi Birokrasi melalui transformasi digital dengan Intelligent Operations Platform (IOP).
- Bubarkan Partai Politik yang tidak melakukan pendidikan politik.
- Lakukan Pemaknaan Nilai-nilai Pancasila agar tidak sekadar menjadi simbol kosong.
- Melaksanakan Musyawarah Kenegarawanan Nasional sebagai ruang bersama merumuskan masa depan bangsa.
- Membentuk Dewan Kedaulatan Rakyat ad hoc untuk mengawal amandemen kelima UUD 1945.
- Melakukan perubahan sistem negara dengan membedakan lembaga negara dan lembaga pemerintah.
- Memasukkan Pendidikan Politik dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah, karena partai politik telah gagal melaksanakan peran edukatif bagi calon pemimpin masa depan.
Jika Bukan Kita, Siapa Lagi?
Kita tak butuh pemerintah yang pandai bicara, tapi lalai bertindak. Kita butuh pemimpin yang punya integritas, keberanian, dan kesediaan untuk mendengar. Dan semua itu tidak akan muncul jika rakyat tetap diam.
Mulailah bertanya. Mulailah mendesak transparansi. Jangan takut. Karena saat kita diam, kita bukan hanya menjadi korban, kita menjadi bagian dari masalah.
Jika bukan kita yang menjaga bangsa ini dari kehancuran, siapa lagi?