Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa baru-baru ini mengeluarkan pernyataan yang menuai sorotan publik. Ia menasihati generasi muda agar jangan hidup dengan berutang. Pesan ini, sekilas, terdengar bijak dan penuh tanggung jawab moral. Namun di saat yang sama, pemerintah di bawah kepemimpinannya tetap membuka ruang bagi negara untuk menambah utang, meskipun dengan alasan “tidak signifikan” dan “fleksibel”. Kontradiksi ini melahirkan sebuah ironi: negara melarang warganya hidup dari utang, tapi justru menggantungkan keberlangsungan fiskalnya pada utang.
Beban Utang Negara = Beban Generasi Muda
Sering kali kita mendengar pernyataan pejabat bahwa utang negara “masih aman” karena rasio terhadap PDB dianggap terkendali. Namun, kenyataan di lapangan jauh lebih kompleks. Utang tidak pernah hilang begitu saja, ia diwariskan antar generasi. Setiap rupiah utang hari ini adalah beban masa depan. Yang menanggung ujungnya adalah generasi muda melalui pajak yang lebih tinggi, harga barang yang terdorong naik, hingga keterbatasan anggaran negara untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.
Artinya, ketika negara menambah utang, anak muda sebenarnya sedang “dipaksa ikut berutang”, meski secara pribadi mereka dilarang melakukan hal yang sama. Paradoks ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah pesan moral Menkeu Purbaya sungguh-sungguh untuk mendidik generasi, atau sekadar retorika yang tidak selaras dengan praktik kebijakan?
Strategi Pertumbuhan yang Spekulatif
Purbaya optimistis utang bisa dikelola dengan strategi akselerasi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan penerimaan pajak. Namun, strategi ini sarat risiko. Pertumbuhan ekonomi tidak bisa diprediksi secara mutlak, apalagi di tengah gejolak global dan domestik. Cicilan bunga dan pokok utang, sebaliknya, bersifat pasti dan wajib dibayar. Jika target pertumbuhan meleset, beban fiskal tetap harus ditanggung. Pada akhirnya, rakyat khususnya generasi muda, yang akan merasakan dampaknya dalam bentuk kenaikan pajak baru, pengurangan subsidi, atau terbatasnya peluang kerja.
Cak Nun: Negara Amatiran, Anak Muda yang Bayar
Kritik moral terhadap paradoks ini sebenarnya sudah lama disuarakan. Cak Nun pernah menegaskan: “Anak muda jangan berutang, karena negara ini dikelola amatiran. Akibatnya nanti anak-anak muda yang disuruh bayar.” Ucapan ini kini terasa relevan. Generasi muda yang tidak ikut duduk di kursi kabinet, tidak ikut menandatangani surat utang, justru dipaksa menanggung beban keputusan yang mereka tidak pernah buat.
Pesan ini membuka dimensi etis dari persoalan fiskal. Bukan hanya soal hitung-hitungan APBN, tetapi soal keadilan antar generasi. Apakah adil melarang anak muda berutang demi kebaikan pribadi mereka, sementara negara justru meninggalkan warisan utang yang harus mereka bayar sepanjang hidup?
Paradoks Moral dan Teladan Kepemimpinan
Negara seharusnya mendidik dengan teladan. Jika anak muda diminta hidup tanpa utang, maka negara juga harus menunjukkan disiplin fiskal dengan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri maupun dalam negeri. Jika tidak, maka pesan moral itu kehilangan legitimasi dan bisa dianggap hanya sebagai ironi pahit.
Lebih jauh, paradoks ini bisa merusak kepercayaan publik. Bagaimana anak muda bisa percaya pada pesan moral pejabat, jika mereka melihat dengan mata kepala sendiri bahwa negara justru melanggar prinsip yang disampaikan?
Anak Muda Jadi Korban Utama
Pada akhirnya, implikasi dari kebijakan fiskal seperti ini tidak bisa dihindari. Negara yang terus berutang, meski katanya “kecil dan fleksibel”, tetap akan membebani generasi muda. Mereka yang diharapkan menjadi tulang punggung masa depan bangsa justru harus memulai hidup dengan warisan utang negara.
Inilah yang membuat pernyataan Menkeu Purbaya terasa ironis. Anti utang untuk pemuda, tapi pro utang untuk negara. Nasihat yang seharusnya melindungi generasi muda, justru berbalik menjadi paradoks yang bisa menjerat mereka dalam beban yang tidak mereka pilih.
Dan jika ironi ini dibiarkan berlanjut, bukan tidak mungkin ucapan Cak Nun menjadi kenyataan negara yang dikelola amatiran akan mewariskan utang, bukan kesejahteraan, kepada anak-anak muda Indonesia.