Seruan “Indonesia Gelap” menggema di berbagai daerah di Indonesia. Gelombang proters tersebut disuarakan ramai-ramai guna mengkritisi kebijakan Presiden RI Prabowo Subianto mengenai efisiensi anggaran.
Namun, seruan “Indonesia Gelap” tersebut rupanya dianggap sebagai bentuk keterkejutan rakyat semata. Hal itu disampaikan Ketua MPR RI Ahmad Muzani, yang menilai aksi unjuk rasa rakyat di berbagai daerah tersebut dianggap terlalu berlebihan. Apalagi, menurutnya reaksi akan kebijakan tersebut tidak hanya disuarakan oleh rakyat umum tetapi juga di lingkup internal birokrasi.
“Yang dilakukan oleh Pak Prabowo sekarang baru tahap awal, sehingga menimbulkan kekagetan. Seringkali reaksinya berlebihan dan kontraproduktif. Bukan hanya masyarakat, reaksi juga terjadi di internal birokrasi pemerintahan tentang penghematan. Termasuk pengetatan anggaran, sehingga itu menimbulkan kekagetan-kekagetan itu,” kata Muzani.
Padahal, seruan “Indonesia Gelap” merupakan bentuk protes dari rakyat karena kebijakan efisiensi anggaran justru tidak menyejahterakan rakyat. Banyak instansi yang melakukan pemotongan anggaran begitu drastis dan dikhawatirkan justru menjadikan rakyat makin sengsara.
Menanggapi hal itu, anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan mengungkapkan, respons rakyat terhadap kebijakan ini menunjukkan adanya kesenjangan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Menurutnya, negara seharusnya dikelola seperti keluarga, di mana Presiden bertindak sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab atas kesejahteraan anggota keluarganya yang diibaratkan adalah rakyat.
“Jika seorang kepala keluarga tiba-tiba memotong anggaran belanja tanpa memberi solusi alternatif, tentu anggota keluarga akan merasa terbebani. Begitu juga dalam negara, rakyat sebagai pengelola kehidupan sehari-hari akan mengalami kesulitan jika pemerintah hanya fokus pada penghematan tanpa strategi keberlanjutan,” tegas Rinto.
Rinto menyebut aksi protes seruan “Indonesia Gelap” yang dilakukan di berbagai daerah tersebut sebagai simbol kekecewaan rakyat terhadap pemerintah. Seharusnya, pemerintah jangan hanya melihatnya sebagai bentuk perlawanan, melainkan sebagai sinyal bahwa ada masalah mendasar yang harus segera diatasi.
“Aksi seperti ini menunjukkan betapa besar keresahan rakyat. Pemerintah harus menyadari bahwa rakyat bukan sekadar objek kebijakan, tetapi mitra dalam membangun bangsa. Ketika kebijakan diambil tanpa konsultasi yang cukup, wajar jika terjadi ketidakpuasan dan perlawanan,” jelasnya.
Rinto menegaskan, efisiensi anggaran tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kesejahteraan rakyat. Jika kebijakan yang diambil mengakibatkan kesulitan bagi rakyat dalam menjalankan perannya, maka pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan tersebut dan membuka ruang dialog lebih luas dengan masyarakat serta DPR.
“Pemerintah harus memahami bahwa efisiensi bukan sekadar pemotongan anggaran, tetapi bagaimana mengalokasikan sumber daya secara tepat guna. Jika memang perlu penghematan, harus jelas sektor mana yang dikurangi dan bagaimana dampaknya bagi rakyat,” tegasnya.
Selain itu, Rinto juga meminta agar pemerintah mencari solusi inovatif untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa membebani masyarakat kecil. Karena itu, kebijakan efisiensi anggaran bukan sekadar pemotongan belanja tanpa arah yang jelas.
“Kita bisa dorong investasi yang lebih produktif, meningkatkan efisiensi birokrasi, dan memaksimalkan pemanfaatan sumber daya alam dengan tata kelola yang baik,” jelasnya.
Situasi yang terjadi saat ini, menurut Rinto menjadi ujian bagi kepemimpinan Presiden Prabowo. Apakah pemerintah akan tetap bersikukuh dengan kebijakan ini, atau justru mendengarkan aspirasi rakyat dan menyesuaikan strategi? Masyarakat kini menunggu, apakah Presiden Prabowo akan melakukan penyesuaian kebijakan atau tetap dengan arah yang telah ditetapkan. Yang jelas, suara rakyat tidak bisa diabaikan begitu saja.
Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran juga menjadi hal yang krusial untuk menghindari dampak negatif yang lebih besar.
“Rakyat sedang menunggu kepemimpinan yang bijaksana, yang mampu mendengarkan dan merespons dengan langkah konkret. Jika pemerintah terus berjalan sendiri tanpa mempertimbangkan dampaknya pada masyarakat, bukan tidak mungkin keresahan ini akan semakin meluas,” pungkasnya.