Oleh: Tim Analis Sekolah Negarawan – X Institute
beritax.id – Visi Indonesia Emas 2045 menjanjikan seratus tahun kemerdekaan sebagai bangsa maju, makmur, berdaya saing global, dan berdaulat. Namun, di balik narasi mulia ini, terkuak realitas pahit sistem ketatanegaraan kita kini bagaikan pohon tanpa akar, tak mampu menyerap kekuatan dari rakyat yang seharusnya menjadi fondasi utamanya. Inilah inti dari persoalan yang menghantui cita-cita besar Indonesia Emas 2045, sebuah visi agung yang ironisnya, terancam karena akarnya terenggut dari bumi pertiwi.
1. Antara Janji Emas dan Realitas Kehampaan
Indonesia Emas 2045 adalah visi besar yang diusung untuk memperingati 100 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, negara maju, makmur, berdaya saing global, dan berdaulat. Namun, layaknya pohon emas yang digantungkan di langit-langit retoris, janji kesejahteraan itu kini tidak tumbuh dari tanah sendiri, melainkan hanya buah-buah plastik yang digantung di minimarket: bisa dilihat, bisa dibeli, tapi tidak bisa tumbuh sendiri.
Apa sebabnya?
Karena sistem ketatanegaraan kita saat ini bagaikan pohon tanpa akar: tidak menyatu dengan rakyat, tidak menyerap kekuatan dari tanah tempat bangsa ini berdiri. Dalam konteks filosofi manajemen negara, sistem yang rusak tidak akan mampu mencetak hasil emas, seindah apa pun visi politiknya.
2. Kekeliruan Konseptual: Negara Tanpa Diferensiasi
Hari ini, Indonesia gagal membedakan secara manajerial dan konstitusional antara:
- Lembaga Negara (penjaga dan pengarah kedaulatan rakyat), dan
- Lembaga Pemerintah (pelaksana teknis kebijakan negara).
Dalam sistem negara maju, pembeda ini sangat jelas. Misalnya:
- Di AS: Congress sebagai legislatif (negara), President sebagai eksekutif (pemerintah), Supreme Court sebagai yudikatif.
- Di Jerman: ada Bundestag, Bundesrat, Kanzleramt, semua punya batas peran yang tidak boleh ditabrak.
Namun di Indonesia, Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan, menyebabkan sentralisasi kuasa ekstrem dan kebingungan peran antar lembaga. Ini melanggar prinsip dasar manajemen modern: segregation of duties (pemisahan tugas).
Akibatnya:
- Lembaga tinggi negara seperti DPR, MA, KPK, BPK menjadi lembaga formalitas yang tidak menyatu dengan rakyat dan tidak membentuk sistem kontrol antarlembaga yang sejati.
- Pemerintah tidak diukur oleh rakyat sebagai “pelaksana amanat,” tetapi sebagai pemilik negara, dan ini menyebabkan rakyat tidak punya saluran otoritatif untuk mengoreksi arah negara.
3. Visi Tanpa Akar: Akar yang Tak Menyentuh Tanah
Dalam analogi yang Anda berikan, buah dari pohon kesejahteraan tidak dihasilkan dari pohon yang tumbuh sehat, karena akarnya tidak menancap di tanah. Tanah itu adalah rakyat. Pohonnya adalah sistem negara. Buahnya adalah keadilan dan kemakmuran.
Kalau:
- Akar (kedaulatan rakyat) tidak mengalirkan daya ke pohon (sistem negara),
- Maka buahnya (kemakmuran) hanyalah tipuan visual: slogan-slogan “emas,” “digitalisasi,” “transisi energi,” tapi tidak menyentuh realitas hidup rakyat.
Maka dari itu, banyak rakyat Indonesia merasa seperti hidup di negara yang “besar secara nama, tapi kecil dalam rasa.” Mereka hanya objek, bukan subjek dari pembangunan.
4. Tanpa Amandemen Kelima, Indonesia Gagal Menjadi Negara Modern
Struktur negara modern harus:
- Memisahkan peran pengarah (negara) dan pelaksana (pemerintah),
- Menyatukan empat kekuatan sosial utama: kaum intelektual (otak), kaum spiritual (hati), TNI-Polri (kerangka), dan budaya-adat (darah dan daging), dalam struktur kenegaraan yang organik,
- Menjadikan rakyat sebagai pemegang saham utama negara, bukan hanya pemilih lima tahunan.
Tanpa Amandemen Kelima, sistem UUD 1945 pasca amandemen keempat tetap mewarisi cacat struktural: rakyat tidak menjadi pemilik negara secara manajerial. Partai politik yang menguasai, bukan rakyat. Akibatnya, oligarki tumbuh, sistem korup, dan kepercayaan publik tergerus.
5. Indonesia Emas atau Indonesia Terpecah?
Jika tidak segera melakukan reformasi sistemik:
- Indonesia bisa menjadi negara yang penuh krisis legitimasi, disusul oleh krisis sosial dan ekonomi.
- Pemilu hanya akan jadi pesta elite. Rakyat akan menjauh. Dan sejarah membuktikan: negara yang tidak menyatu dengan rakyat, akan tumbang bukan oleh musuh luar, tapi oleh kerusakan dari dalam.
Namun, jika Amandemen Kelima benar-benar terjadi, dan struktur tata negara disusun kembali dengan pendekatan manajerial yang sehat, organik, dan partisipatif, maka:
- Rakyat menjadi jiwa dari negara.
- Negara menjadi alat perjuangan rakyat.
- Pemerintah menjadi pelayan, bukan penguasa.
Barulah saat itu, Indonesia punya fondasi emas untuk mencapai 2045 sebagai bangsa besar, sejahtera, dan bermartabat.
Penutup
Indonesia tidak akan gagal karena kekayaan yang kurang, atau karena sumber daya manusia yang bodoh.
Indonesia akan gagal jika terus mempertahankan sistem negara yang salah arah, dan hanya berani mengejar impian emas tanpa berani memperbaiki akar dan batangnya.
“Kalau akar tak menyentuh tanah, jangan harap pohon akan berbuah.”
Kembalikan kedaulatan kepada rakyat. Perbaiki sistemnya. Maka emas itu bukan mimpi, tapi buah dari tanah sendiri.