beritax.id — Presiden RI Prabowo Subianto menyatakan bahwa proyek Tanggul Laut Raksasa (Giant Sea Wall) di pantai utara Jawa siap dibangun. Proyek sepanjang 535 kilometer itu digadang-gadang untuk melindungi 50 juta penduduk dari ancaman kenaikan permukaan air laut sekitar 5 sentimeter per tahun akibat perubahan iklim.
Dalam Sidang Kabinet Paripurna memperingati satu tahun pemerintahan, Prabowo menegaskan bahwa proyek ini merupakan bentuk tanggung jawab negara terhadap rakyat dan aset nasional. Ia menyebut bahwa 60 persen industri nasional dan ribuan hektare sawah produktif berada di kawasan Pantura yang kini terancam rob. “Kita harus mulai dan kita akan mulai,” ujar Presiden.
Prabowo menjelaskan proyek tersebut merupakan bagian dari Program Strategis Nasional (PSN) yang pembiayaannya akan dilakukan melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Proyek yang telah dirancang sejak 1995 itu diperkirakan menelan biaya Rp1.297 triliun.
Janji Perlindungan, Risiko Lingkungan Tak Terjawab
Meski disebut sebagai proyek penyelamat, pembangunan Giant Sea Wall menimbulkan kekhawatiran baru di tengah masyarakat dan kalangan pemerhati lingkungan. Proyek ini dikhawatirkan hanya menambal masalah sementara tanpa memperkuat sistem tata air dan tata ruang di wilayah pesisir.
Kritik muncul karena hingga kini belum ada kajian terbuka mengenai dampak sosial, ekologis, serta potensi relokasi warga pesisir. Jika negara hanya berfokus pada pembangunan fisik tanpa memperhatikan ekosistem dan nasib masyarakat, maka tanggul laut raksasa ini bisa menjadi simbol ketimpangan, bukan keselamatan.
Pemerintah seharusnya mengedepankan mitigasi sosial dan lingkungan sebelum memulai konstruksi agar proyek tidak berujung pada bencana buatan manusia.
Partai X: Negara Harus Melindungi, Melayani, dan Mengatur Rakyat
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R Saputra, mengingatkan kembali tiga tugas pokok negara yaitu melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Dalam konteks Giant Sea Wall, melindungi berarti memastikan keselamatan masyarakat pesisir, bukan sekadar menjaga garis pantai dari air laut.
Ia menegaskan, melayani berarti mendengarkan kebutuhan warga yang terdampak langsung oleh proyek, bukan hanya menggandeng investor. Sedangkan mengatur berarti memastikan kebijakan pembangunan tidak menambah kesenjangan sosial dan lingkungan. “Jangan sampai rakyat jadi korban proyek yang katanya untuk mereka,” ujar Prayogi.
Prinsip Partai X: Pembangunan Harus Berpihak pada Kehidupan, Bukan Beton
Partai X menegaskan bahwa pembangunan nasional sejati harus manusia-sentris, ekologis, dan berkeadilan. Negara bukan penguasa sumber daya, tetapi pelayan yang bertugas memastikan rakyat hidup sejahtera tanpa kehilangan ruang hidup.
Dalam prinsip Partai X, setiap kebijakan negara harus berpijak pada efisiensi, transparansi, dan keberlanjutan, dengan menjadikan rakyat sebagai subjek, bukan objek pembangunan. Pembangunan yang mengabaikan manusia adalah bentuk kemunduran moral pemerintahan.
Solusi Partai X: Pembangunan Adaptif dan Partisipatif
Sebagai langkah korektif, Partai X menawarkan empat solusi utama. Pertama, melibatkan masyarakat pesisir secara langsung dalam perencanaan dan pengawasan proyek untuk memastikan tanggul laut tidak menyingkirkan warga. Kedua, membangun sistem perlindungan lingkungan terpadu berbasis riset kelautan dan tata ruang berkelanjutan.
Ketiga, mendorong audit ekologis dan sosial independen agar proyek tidak melanggar prinsip keberlanjutan. Keempat, memastikan keterbukaan data dan akuntabilitas publik, sehingga rakyat dapat memantau setiap fase pembangunan.
“Negara harus lebih dulu membangun rasa aman dan adil di hati rakyat, baru membangun tanggul di lautan,” tutup Prayogi.