beritax.id – Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 4 Tahun 2025 menjadi momen refleksi di tubuh peradilan. Surat itu menekankan pentingnya hidup sederhana, terutama bagi para hakim perempuan, di tengah sorotan publik yang kerap menilai dari tampilan dan gaya hidup.
Dalam edaran tersebut ditegaskan bahwa kesederhanaan adalah bagian dari pencegahan penyimpangan. Hakim dituntut untuk tampil wajar, tidak mencolok, dan menghindari pertunjukan kemewahan di ruang publik maupun digital. Keteladanan dianggap dimulai dari busana, etika sosial, hingga media sosial.
Pesan ini hadir di tengah situasi kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan yang masih fluktuatif. Sorotan pada gaya hidup mewah menjadi pintu masuk kecurigaan atas integritas hakim dan keterlibatan dalam praktik tidak etis. Karena itu, pesan kesederhanaan diyakini penting untuk memulihkan wibawa institusi.
Partai X: Sistem Peradilan Bukan Cuma Soal Gaya, Tapi Tegaknya Keadilan
Anggota Majelis Tinggi Partai X Rinto Setiyawan menanggapi surat edaran ini dengan penuh harapan, sekaligus peringatan. Menurutnya, gaya hidup sederhana hanya akan bermakna jika diiringi dengan sikap hukum yang adil dan berani.
“Kalau gaya sederhana tapi takut menindak yang berkuasa, apa gunanya integritas yang diklaim itu?” tegas Rinto.
Ia mengingatkan, tugas pemerintah adalah melindungi, melayani, dan mengatur rakyat bukan menundukkan hukum pada kekuasaan. Surat edaran soal kesederhanaan tidak boleh jadi pemanis citra tanpa koreksi atas sistem hukum yang masih penuh celah.
Partai X menilai banyaknya kasus suap dan gratifikasi di sektor peradilan, seperti kasus Zaroel Ricar, menandakan bahwa rusaknya keadilan bukan karena gaya hidup saja. Tapi karena sistem yang membiarkan mafia hukum tumbuh, sementara pengawasan internal tumpul.
Solusi Partai X: Bangun Karakter Negarawan, Bukan Sekadar Penegak Aturan
Sebagai solusi, Partai X mendorong lahirnya sistem perekrutan dan pembinaan hakim yang tak hanya menekankan administratif, tapi juga integritas karakter. Hal ini sejalan dengan visi Sekolah Negarawan yang diusung Partai X.
Melalui sekolah itu, para aparatur hukum diajarkan bukan hanya soal aturan, tapi juga keberanian moral, empati sosial, dan keberpihakan pada rakyat kecil. Penegak hukum yang sejati bukan hanya mengenakan jubah, tapi menghidupi amanat konstitusi.
“Elegansi seorang hakim tidak diukur dari penampilan, tetapi dari nyali menegakkan keadilan, bahkan saat yang dilawan adalah kekuasaan,” tegas Rinto.
Partai X menegaskan bahwa wibawa hukum lahir bukan dari edaran, tapi dari praktik yang konsisten. Ketika hakim berani memvonis pejabat, bos besar, dan mafia hukum tanpa ragu, di situlah rakyat percaya.
Rinto menutup, “Kalau memang kesederhanaan jadi prinsip, maka sederhanakan juga akses keadilan untuk rakyat. Jangan hanya sederhana di luar, tapi rumit saat rakyat butuh pembelaan.”
Prinsip Partai X adalah hukum untuk semua, bukan alat segelintir pejabat. Hukum yang benar adalah hukum yang tak pilih kasih dan itu hanya bisa diwujudkan jika para hakim bukan hanya sederhana, tapi juga berani dan adil.