beritax.id – Pernyataan menyerah dari empat bupati di Aceh dalam menghadapi banjir dan longsor bukan sekadar berita mengejutkan ini adalah peristiwa simbolik besar dalam sejarah tata kelola bencana di Indonesia. Bukan hanya karena skala bencana yang ekstrem, dengan ratusan korban meninggal, ratusan lainnya hilang, ribuan terluka, dan desa-desa terisolasi; tetapi karena kejujuran mereka menyatakan bahwa daerah tidak sanggup menghadapi bencana sebesar itu sendirian.
Pernyataan “tidak sanggup” bukan tanda putus asa semata, melainkan sinyal keras bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam sistem penanggulangan bencana nasional.
Bencana Terbesar Setelah Tsunami 2004 Tapi Respons Tidak Seimbang
Banjir dan longsor kali ini disebut sebagai bencana terbesar di Aceh pasca-tsunami 2004. Namun respons yang datang jauh berbeda. Infrastruktur hancur, jembatan runtuh, akses darat terputus, dan logistik terhambat, sementara kapasitas daerah sangat terbatas. Tim SAR kewalahan, peralatan minim, anggaran darurat tipis, dan daerah tidak memiliki cadangan kekuatan untuk menangani bencana di skala sebesar ini.
Kondisi ini membuat para bupati seperti Sisyphus dalam kisah Camus terus mendorong batu ke puncak bukit, namun batu itu jatuh lagi dan lagi.
Apakah Ini Sekadar Ketidakberdayaan? Atau Pesan yang Tidak Diucapkan?
Surat resmi ke pusat bukan hanya prosedur birokratis. Ia adalah bentuk komunikasi yang menyiratkan bahwa daerah sudah berada di titik kritis. Dalam sistem yang ideal, kepala daerah seharusnya memiliki cukup sumber daya untuk merespons bencana lokal. Namun fakta menunjukkan sebaliknya: otonomi tidak berjalan ketika bencana datang.
Karena itu, wajar jika muncul pertanyaan publik: Apakah mereka benar-benar tidak sanggup, atau sedang mengirim sinyal bahwa pusat juga gagal membaca situasi?
Ketimpangan Struktural: Daerah Diminta Mandiri, Tapi Tidak Diberi Kekuatan
Ini bukan fenomena baru. Banyak daerah di Indonesia hidup dalam paradoks otonomi:
diminta mandiri dalam pengelolaan. Tetapi tetap sangat bergantung pada pusat dalam sumber daya krusial.
Dalam konteks Aceh, ketergantungan itu terlihat jelas. Daerah rawan bencana seperti Aceh membutuhkan peralatan berat, logistik besar, dan koordinasi skala nasional hal yang tidak mungkin disediakan daerah sendirian. Maka pernyataan menyerah itu bukan kelemahan personal. Ia adalah refleksi dari kegagalan sistemik.
Respons Pusat yang Membantah, Tapi Tidak Menjawab Masalah
Pemerintah pusat menyebut para bupati “bukan menyerah”, hanya mengakui keterbatasan. Namun bantahan itu justru memperkuat satu hal pusat tidak menangkap bahwa daerah sedang berteriak meminta pertolongan.
Menyangkal masalah tidak akan menyelamatkan korban. Dan tidak akan memperbaiki tata kelola bencana.
Solusi: Perkuat Sistem, Jangan Biarkan Daerah Bertempur Sendiri
Jika Indonesia ingin mencegah peristiwa serupa, negara harus membenahi struktur penanggulangan bencana dari akar hingga pucuk.
Solusi yang harus dilakukan: Negara perlu memperkuat kapasitas daerah dengan anggaran darurat yang fleksibel dan mudah diakses, tanpa birokrasi yang melelahkan. Peralatan penanganan bencana harus ditempatkan secara strategis di wilayah rawan, bukan hanya di pusat atau kota besar. Standar respons cepat nasional harus dijalankan tanpa menunggu laporan yang bertele-tele. Koordinasi antardaerah harus diperluas agar wilayah sekitar dapat turun tangan sebelum bantuan pusat datang. Pelatihan mitigasi dan simulasi bencana harus menjadi agenda berkala dan didukung dengan serius, bukan sekadar formalitas. Ketika sistem kuat, daerah tidak perlu “menyerah” untuk didengar.
Kesimpulan: Jangan Abaikan Pesan di Balik Pernyataan Menyerah Itu
Empat bupati Aceh bukan sedang mencari sensasi, bukan pula ingin lepas tangan. Mereka sedang menunjukkan bahwa beban bencana telah melebihi kapasitas yang dimiliki. Jika pusat gagal membaca pesan ini, maka kegagalan bukan hanya terjadi di Aceh, tetapi dalam sistem nasional secara keseluruhan.
Ada pesan terselubung di balik pernyataan itu dan pesan itu jelas daerah tidak boleh dibiarkan berjuang sendiri.



