Oleh: Rinto Setiyawan
beritax.id – Dalam dinamika panjang pemikiran dan pergerakan Maiyah, khususnya yang menyentuh ranah tata negara, kita dapat mengidentifikasi dua golongan utama di antara para jamaah dan simpatisan. Ini bukan sekadar klasifikasi akademik, tetapi refleksi dari respons nyata terhadap gagasan-gagasan besar Cak Nun yang menyangkut masa depan Indonesia.
Golongan Pertama: Optimis dan Meyakini Kelayakan
Golongan ini adalah mereka yang tidak hanya mengagumi kedalaman pemikiran Cak Nun, tetapi juga percaya bahwa gagasan beliau dapat diwujudkan. Mereka melihat bahwa struktur ketatanegaraan kita yang selama ini rapuh, dipenuhi oleh oligarki, lembaga negara yang gagal menjalankan fungsinya, dan rakyat yang teralienasi dari kedaulatan sejatinya, memerlukan pendekatan baru yang spiritual, kultural, dan sistemik.
Gagasan Cak Nun tentang kerajaan meritokratis berbasis rakyat. Falsafah sedulur papat lima pancer sebagai basis representasi negara. Hingga konsep negara sebagai organisme hidup yang bernafaskan Pancasila otentik, diterima dengan semangat membangun oleh golongan ini. Mereka sudah mulai menarasikan gagasan ini secara konkret. Seperti yang dilakukan oleh Prayogi dan Azizah yang menyusun struktur ketatanegaraan baru lengkap dengan narasi dan visualisasi.
Jamaah Maiyah sebagai Jantung Spiritualitas Perubahan
Sebagai refleksi tambahan, Cak Nun juga pernah menyampaikan bahwa kelak Maiyah akan menjadi jantungnya. Mengenai kekuatan ruhani dan moral yang akan menopang perjuangan dan konsistensi dari golongan pertama ini. Artinya, Maiyah bukan hanya forum permenungan, tetapi akan menjadi motor spiritual yang menghidupkan perubahan.
Saya sendiri termasuk orang yang meyakini bahwa konsep dan gagasan perubahan struktur tata negara. Dimana yang di bicarakan dan diajarkan kepada jamaah Maiyah itu sangat logik dan memungkinkan dijalankan atau diterapkan.
Golongan Kedua: Skeptis dan Meragukan Implementasi
Di sisi lain, terdapat golongan yang meski mungkin secara emosional dekat dengan sosok Cak Nun, namun memandang ide-ide tersebut sebagai utopis. Mereka meragukan bahwa perubahan struktur ketatanegaraan bisa dilakukan hanya dengan narasi dan nilai spiritual. Bahkan sebagian dari mereka menuduh bahwa gagasan tersebut tidak praktis, tidak realistis, dan tidak akan pernah diwujudkan.
Sayangnya, sikap ini justru melanggengkan status quo. Mereka tidak menyadari bahwa menolak mencoba hanya karena berat. Sama artinya dengan menyerah pada sistem yang selama ini mencederai keadilan dan kedaulatan rakyat. Lebih parah lagi, sebagian dari mereka bersembunyi di balik retorika spiritual atau teknologi canggih seperti AI, tanpa menyentuh akar persoalan sistemik negara.
Penutup
Sebagai bagian dari generasi yang meyakini pentingnya perubahan sistemik, saya memilih berdiri bersama golongan pertama. Gagasan besar harus diperjuangkan, bukan hanya didiskusikan. Kita tidak bisa terus berharap keadilan muncul dari sistem yang cacat. Sudah saatnya rakyat kembali berdaulat, dengan dipandu oleh konsep ketatanegaraan yang utuh, manusiawi, dan membumi, seperti yang telah lama ditegaskan oleh Cak Nun.
Rinto Setiyawan adalah Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia, Anggota Majelis Tinggi Partai X, dan Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute.