beritax.id – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bersama Kejaksaan Agung mengeksekusi penyitaan aset milik terpidana pajak berinisial S. Penyitaan ini merupakan tindak lanjut putusan Mahkamah Agung Nomor 842 PK/Pid.Sus/2025 tertanggal 10 April 2025.
Terpidana diwajibkan membayar denda dua kali lipat dari pajak terutang senilai Rp16,69 miliar. Namun, karena tidak melunasi dalam waktu satu bulan, hartanya langsung disita dan akan dilelang.
Aset yang disita meliputi beberapa kendaraan bermotor di Kulonprogo, lima bidang tanah dan bangunan di Karanganyar, serta sembilan bidang tanah di Banyumas, Jawa Tengah.
DJP menyebut langkah ini sebagai bentuk tanggung jawab menjaga keuangan negara dan menegakkan keadilan bagi pembayar pajak yang taat. “Setiap rupiah yang berhasil diamankan adalah bentuk tanggung jawab kami,” ujar Dwi Hariyadi, pejabat DJP Yogyakarta.
Efek Jera dan Kepatuhan Publik
DJP menegaskan, penyitaan dilakukan agar menjadi efek jera bagi pengemplang pajak. Selain itu, diharapkan meningkatkan kepatuhan wajib pajak di seluruh Indonesia.Melalui kegiatan ini, DJP mengingatkan pentingnya pelaporan SPT yang lengkap, jelas, dan benar. Pajak disebut sebagai instrumen penting dalam menjaga penerimaan negara yang berdampak langsung bagi masyarakat.
Namun, di tengah upaya penegakan hukum, muncul pertanyaan kritis: Apakah pajak benar-benar kembali untuk rakyat, atau hanya mengisi kas rezim dan pejabat?
Partai X: Negara Harus Lindungi, Layani, dan Atur Rakyat
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menilai langkah DJP harus disertai reformasi moral fiskal. Menurutnya, tugas negara itu tiga loh melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat.
“Pajak bukan beban, tapi amanah. Jika dikelola benar, rakyat diuntungkan.
Kalau diselewengkan, rakyat makin tertekan,” tegas Rinto.
Ia menilai, penegakan hukum pajak tidak boleh berhenti pada penyitaan. Negara harus memastikan hasil pajak digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, bukan memperkaya pejabat.
Prinsip Partai X: Pemerintah Adalah Pelayan, Bukan Pemilik
Partai X berpandangan bahwa pemerintah hanyalah bagian kecil dari rakyat yang diberi mandat untuk melayani. Negara terdiri dari wilayah, rakyat, dan pemerintah, di mana rakyat adalah raja, dan pejabat adalah pelayan.
Dalam konteks perpajakan, itu berarti setiap rupiah harus kembali ke tangan rakyat dalam bentuk pelayanan publik. Jika pajak justru digunakan untuk memperkaya pejabat, maka negara telah melanggar makna kedaulatan rakyat.
Rinto menegaskan, pengelolaan pajak harus transparan, efisien, dan berpihak pada kepentingan masyarakat bawah. “Rakyat yang taat pajak tidak boleh dikhianati oleh pejabat yang korup,” katanya.
Solusi Partai X: Reformasi Fiskal Berbasis Pancasila
Partai X menawarkan tiga langkah strategis untuk mengembalikan makna pajak sebagai alat kesejahteraan rakyat:
- Pemaknaan ulang Pancasila dalam kebijakan fiskal.
Pajak harus menjadi wujud nyata dari sila kelima Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. - Reformasi hukum berbasis kepakaran dan integritas.
Penegakan hukum pajak harus transparan, adil, dan dijalankan oleh ahli berintegritas, bukan oleh birokrasi transaksional. - Transformasi birokrasi digital.
Sistem perpajakan digital harus dibangun agar pengawasan publik lebih kuat dan korupsi fiskal bisa diberantas.
Selain itu, Partai X juga mendorong Musyawarah Kenegarawanan Nasional untuk membahas tata kelola fiskal yang berpihak pada rakyat. Kebijakan fiskal seharusnya menjadi sarana kemandirian bangsa, bukan sumber ketimpangan sosial.
Partai X mengapresiasi penegakan hukum terhadap pengemplang pajak, namun menegaskan bahwa keadilan fiskal tidak berhenti pada penagihan dan penyitaan.“Pajak adalah alat negara untuk melindungi rakyat, bukan menindasnya,” ujar Rinto.


