beritax.id – Di tengah reruntuhan rumah, pengungsian darurat, dan jeritan korban bencana, perhatian negara justru sering bergeser. Alih-alih fokus pada pemulihan warga, panggung publik dipenuhi pujian terhadap kekuasaan: kunjungan simbolik, pernyataan seremonial, dan narasi keberhasilan pemerintah yang terasa jauh dari kenyataan lapangan.
Bencana yang seharusnya menjadi momen empati dan tanggung jawab negara, kerap berubah menjadi ajang legitimasi kekuasaan.
Saat rakyat berjuang memenuhi kebutuhan paling dasar air bersih, makanan, tempat tinggal negara justru terlihat sibuk membangun kesan kehadiran. Kamera menyala, pernyataan resmi dirilis, namun distribusi bantuan berjalan lambat dan tidak merata.
Kesenjangan ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah negara hadir untuk menolong korban, atau sekadar memastikan citra kekuasaan tetap utuh?
Bencana sebagai Panggung, Bukan Panggilan Tanggung Jawab
Bencana seharusnya memaksa negara bekerja lebih rendah hati dan responsif. Namun yang terjadi, penderitaan rakyat sering diperlakukan sebagai latar belakang, sementara kekuasaan ditempatkan di pusat narasi. Pujian kepada pemimpin dan klaim kinerja lebih dominan daripada evaluasi kebijakan yang menyebabkan kerentanan bencana itu sendiri.
Akibatnya, akar masalah mulai dari tata kelola lingkungan hingga kesiapsiagaan negara tidak pernah benar-benar disentuh.
Kehadiran pejabat di lokasi bencana sering kali bersifat simbolik. Bantuan datang terlambat, koordinasi buruk, dan korban dipaksa bertahan dengan daya seadanya. Negara tampak hadir di depan kamera, tetapi tidak cukup hadir dalam kehidupan korban sehari-hari.
Di sinilah kepercayaan publik kembali tergerus.
Tanggapan Prayogi R. Saputra: Pujian Kekuasaan Tidak Menyelamatkan Nyawa
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menilai pola ini sebagai kegagalan memahami fungsi dasar negara.
“Di hadapan korban bencana, yang paling dibutuhkan bukan pujian kepada kekuasaan, tapi kehadiran negara yang melindungi, melayani, dan mengatur dengan benar,” tegas Prayogi.
Ia mengingatkan bahwa tugas negara tidak berubah dalam kondisi apa pun.
“Tugas negara itu hanya tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Jika dalam situasi darurat negara justru sibuk dipuja, maka yang hilang adalah empati dan tanggung jawab,” lanjutnya.
Menurut Prayogi, bencana adalah ujian paling jujur bagi negara. Dalam situasi ekstrem, rakyat bisa membedakan mana kepemimpinan yang bekerja dan mana yang hanya berkomunikasi.
“Nyawa dan keselamatan rakyat tidak bisa digantikan oleh narasi keberhasilan atau simbol kekuasaan,” ujarnya.
Solusi: Mengembalikan Negara ke Posisi Pelindung Rakyat
Agar tragedi kemanusiaan tidak terus menjadi panggung kekuasaan, diperlukan langkah nyata:
- Menempatkan kebutuhan korban sebagai prioritas mutlak, bukan sekadar citra
- Mempercepat respons darurat berbasis kebutuhan nyata di lapangan
- Menghentikan kepentingan kekuasaan bencana dan narasi pencitraan
- Mengevaluasi kebijakan struktural yang memperparah dampak bencana
- Membangun sistem penanggulangan bencana yang transparan dan akuntabel
Di hadapan korban bencana, negara seharusnya menundukkan ego kekuasaan, bukan memujanya. Sebab bagi rakyat yang kehilangan rumah dan keluarga, yang dibutuhkan bukan simbol kepemimpinan, melainkan perlindungan nyata dari negara yang hadir sepenuhnya.



