beritax.id – Banjir besar dan longsor yang melanda Sumatera pada 2025 tampak seperti tragedi alam di permukaan. Namun di baliknya, tersembunyi sebuah dinamika yang jauh lebih kelam koalisi sunyi antara otoritas pemerintah dan oligarki bisnis. Bencana Sumatera memang datang dari langit, tetapi dampaknya diperparah oleh keputusan-keputusan darat keputusan yang menguntungkan perusahaan besar, bukan keselamatan rakyat.
Inilah mengapa judul ini relevan bencana yang terlihat hanyalah gejala; yang tak terlihat adalah hubungan kekuasaan yang membiarkan kerusakan terjadi.
Kebijakan yang Menguntungkan Segelintir, Merugikan Banyak
Selama bertahun-tahun, proyek-proyek besar seperti PLTA Batang Toru, tambang emas, dan perkebunan raksasa di kawasan Sumatera dibingkai sebagai simbol pembangunan hijau dan pertumbuhan ekonomi. Namun rangkaian kehancuran lingkungan termasuk hilangnya lebih dari 70 ribu hektare hutan Batang Toru mengungkap bahwa kebijakan ini sesungguhnya:
- membuka benteng ekologis,
- memusatkan keuntungan pada korporasi,
- dan mendorong masyarakat lokal semakin dekat ke jurang risiko bencana.
Di berbagai pertemuan publik, pejabat pusat dan daerah tampak berbeda pendapat.
Namun dalam hal memberi jalan bagi investasi, suara mereka justru seragam.
Inilah yang disebut banyak pihak sebagai koalisi sunyi: tidak diumumkan, tidak tertulis, tetapi terasa jelas dari hasil akhir.
Penyangkalan Resmi, Kemunduran Ekologis
Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, menjadi contoh konkret bagaimana koalisi ini bekerja. Ketika publik dan organisasi lingkungan menyebut deforestasi sebagai penyebab utama banjir, ia dengan tegas menolak dan menyalahkan cuaca ekstrem.
Penyataan seperti ini bukan hanya menutup mata terhadap realitas ekologis; ia juga:
- menetralkan tuntutan evaluasi izin,
- mengurangi tekanan terhadap perusahaan besar,
- sekaligus memindahkan tanggung jawab dari kebijakan ke alam.
Penyangkalan ini bukan sekadar perbedaan analisis. Ia adalah bagian dari pola perlindungan struktural terhadap kepentingan bisnis.
Tanggap Darurat yang Terlambat: Rakyat Membayar Harga Koalisi
Keterlambatan menetapkan status darurat memperlihatkan dampak langsung dari kepemimpinan yang terikat kepentingan lain.
Ketika status darurat diputuskan terlambat:
- alat berat tertahan,
- akses desa terputus lebih lama,
- korban tidak segera ditemukan,
- dan bantuan medis terlambat masuk.
Bencana yang semestinya bisa ditangani lebih cepat justru menjadi besar karena keputusan yang ditunda. Sementara pejabat berhitung, rakyat menghadapi derita tanpa perlindungan.
Perusahaan Bebas Bergerak, Alam Terus Diganggu
Di saat warga kehilangan rumah, perusahaan-perusahaan besar tetap beroperasi tanpa hambatan berarti. Tuntutan pembekuan izin terhadap perusahaan bermasalah tidak pernah dipenuhi. Hutan terus dibuka, tambang terus mengekstraksi, dan proyek energi terus memotong bukit.
Koalisi sunyi ini jelas terlihat dari:
- minimnya sanksi terhadap pelanggaran lingkungan,
- ketiadaan evaluasi izin pada zona rawan,
- dan pembiaran sistematis terhadap deforestasi.
Ketika korporasi selalu aman, rakyat selalu rentan.
Rinto Setiyawan: “Koalisi Semacam Ini Membatalkan Tiga Tugas Dasar Negara”
Melihat pola kelalaian dan perlindungan terhadap oligarki, Anggota Majelis Tinggi Partai X Rinto Setiyawan menyampaikan kritik tajam:
“Negara punya tiga tugas: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Tapi ketika keputusan lebih melindungi korporasi daripada rakyat, tiga tugas itu batal dilaksanakan.”
Ia menekankan bahwa bencana bukan hanya soal alam, tapi soal keberanian atau ketakutan pejabat untuk melawan kepentingan bisnis.
“Jika negara tunduk pada oligarki, maka rakyat dibiarkan menghadapi bencana sendirian. Ini pengkhianatan terhadap amanat konstitusi.”
Rinto menegaskan bahwa negara harus mengakhiri koalisi tak tampak ini dan kembali menempatkan keselamatan rakyat di atas semua kepentingan.
Solusi: Putuskan Koalisi Sunyi, Bangun Kebijakan yang Terang
Partai X menawarkan langkah strategis untuk memutus hubungan yang merugikan rakyat dan memperbaiki tata kelola lingkungan:
- Audit independen seluruh proyek besar di Sumatera
Termasuk PLTA, tambang, dan perkebunan, dengan hasil wajib dipublikasikan. - Pembekuan izin perusahaan yang beroperasi di zona kerentanan ekologis
Tidak boleh ada kompromi dalam keselamatan lingkungan. - Penegakan hukum tegas terhadap pelanggaran lingkungan
Termasuk denda, pencabutan izin, dan penuntutan pidana. - Reformasi tata kelola daerah
Agar keputusan tanggap darurat tidak terhambat oleh kalkulasi atau tekanan bisnis. - Restorasi ekosistem hulu secara serius dan ilmiah
Rehabilitasi harus berorientasi pada pemulihan fungsi alam, bukan sekadar penanaman massal. - Transparansi penuh dalam pengambilan keputusan
Semua izin, AMDAL, dan kajian risiko harus dapat diakses publik.
Bencana Sumatra bukan hanya akibat curah hujan ekstrem, tetapi juga hasil dari kompromi yang terlalu sering dibuat antara kekuasaan dan modal. Selama koalisi itu tetap hidup, rakyat akan terus menderita, dan alam akan terus kehilangan daya tahannya.
Sudah saatnya negara membuktikan keberpihakan: bukan kepada oligarki, tetapi kepada rakyat dan lingkungan yang menjadi fondasi kehidupan.



