beritax.id – Banjir bandang yang menghantam Sumatra dalam beberapa pekan terakhir tidak datang sendirian. Ia membawa serta pohon-pohon tumbang, lumpur pekat, batu besar, dan jejak panjang kerusakan ekologis yang sudah diperingatkan bertahun-tahun.Terlihat jelas betapa deforestasi mengalir tanpa kendali, merobek hulu DAS Bukit Barisan dan membuka jalan bagi bencana energi tinggi yang menghancurkan rumah dan merenggut ratusan nyawa.
Namun yang lebih menyakitkan bagi rakyat adalah ini: ketika banjir menghantam desa-desa, dugaan korupsi yang menyertai izin-izin perusak lingkungan justru menguap tanpa jejak. Inilah ironi yang menjadi dasar judul ini deforestasi mengalir, banjir menghantam, tetapi korupsi menghilang begitu saja dari agenda negara.
Bukti Bencana Ekologis yang Bukan Sekadar Cuaca
Riset mencatat bahwa banjir di Sumatra kali ini bukan banjir biasa. Ia membawa material raksasa dari hulu gelondongan kayu besar, bebatuan, dan tanah yang mengalir bersamaan.
Fenomena ini hanya bisa terjadi jika:
- hutan di hulu telah rusak parah,
- lereng dilemahkan oleh pembukaan tambang,
- alur sungai terganggu oleh pembangunan perusahaan,
- dan tata ruang diabaikan demi investasi.
Namun pejabat pusat kembali mengemas narasi “bencana alam”, seolah pembukaan lahan untuk PLTA Batang Toru, proyek panas bumi, jalan tambang, dan kebun industri bukan bagian dari sebab.
Padahal laporan menunjukkan korelasi kuat antara area konsesi industri dengan titik longsor dan jalur banjir bandang.
Korban Terus Bertambah, Transparansi Justru Menghilang
Ratusan warga meninggal dan hilang, puluhan ribu lainnya mengungsi, sementara ribuan rumah rata dengan tanah. Namun minimnya liputan nasional membuat bencana ini seolah hanya “kejadian biasa di luar Jawa”.
Lebih buruk lagi menunjukkan:
- keterlambatan distribusi bantuan,
- informasi korban dan kerusakan yang tidak terbuka,
- serta kurangnya koordinasi antarlembaga
menciptakan kesan bahwa negara tidak benar-benar berupaya menyelesaikan akar masalah.
Transparansi semakin menipis ketika menyentuh isu perizinan. Padahal publik berhak tahu: siapa yang memberi izin, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang harus bertanggung jawab atas kerusakan ini?
Ketika Negara Diam, Rakyat Kehilangan Harapan
Banyak desa di Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, dan Aceh dibiarkan terisolasi selama berhari-hari. Warga kelaparan, ada yang menjarah makanan karena tidak ada distribusi logistik, namun pemerintah pusat memilih tetap berada di posisi aman.
Sikap ini membuat publik mempertanyakan keberpihakan negara: apakah negara berpihak pada rakyat, atau pada perusahaan pemegang izin?
Rinto Setiyawan: “Negara Tidak Boleh Melihat Rakyat sebagai Angka Statistik”
Menanggapi situasi ini, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menyampaikan kritik yang tajam namun tegas.
“Tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Jika hutan dibabat oleh izin negara, lalu rakyat mati karena banjir, itu berarti negara gagal menjalankan ketiganya sekaligus.”
Rinto menekankan bahwa negara tidak boleh bungkam ketika kebijakan sendiri memicu bencana.
“Rakyat tidak butuh alasan. Rakyat butuh pelindung. Dan negara wajib memastikan bahwa korupsi dalam pemberian izin tidak dibiarkan menguap begitu saja.”
Ia menegaskan bahwa Partai X berpihak penuh pada keselamatan rakyat dan pemulihan lingkungan sebagai syarat utama pembangunan.
Solusi Partai X: Menghentikan Siklus Deforestasi–Banjir–Korupsi
Partai X menawarkan langkah nyata, bukan sekadar reaksi setelah bencana:
- • Audit Independen Seluruh Izin Industri di Hulu DAS
Tambang, PLTA, panas bumi, dan perkebunan besar harus diaudit dampaknya. Perusahaan yang terbukti merusak lingkungan wajib dihentikan. - Bentuk Komisi Khusus Anti-Korupsi Lingkungan
Korupsi izin harus diperiksa secara tuntas dan terbuka, termasuk aliran dana dan pihak yang menikmati keuntungan. - Penetapan Otomatis Status Bencana Nasional Untuk Bencana Ekologis Besar
Agar pemerintah pusat turun tangan tanpa menunda. - Restorasi Hutan Bukit Barisan sebagai Program Nasional Prioritas
Dengan pendekatan ilmiah, bukan hanya penanaman simbolis untuk kamera. - Transparansi Data Bencana dan Lingkungan
Data harus dibuka ke publik agar rakyat tahu risiko sebenarnya. - Pengetatan Tata Ruang dan Moratorium Konsesi Baru
Hulu DAS harus menjadi zona merah yang tidak boleh lagi dieksploitasi
Banjir yang menghantam Sumatra bukan hanya bencana alam. Ia adalah refleksi dari keputusan yang mengabaikan lingkungan, rakyat, dan akuntabilitas.
Selama deforestasi dibiarkan, banjir akan terus datang. Selama korupsi menguap, bencana akan terus berulang.
Partai X menegaskan bahwa negara harus kembali pada mandatnya: melindungi, melayani, dan mengatur rakyat bukan mengabaikan jeritan mereka.



