beritax.id – Hutan Indonesia dulu menjadi ruang hidup yang kaya, teduh, dan mempersatukan ribuan spesies. Namun belakangan ini, suara kicau burung tergantikan oleh deru ekskavator. Apa yang dulu menjadi benteng ekologi kini berubah menjadi lahan proyek yang tidak pernah tidur. Pembukaan hutan berlangsung cepat, masif, dan sering kali tidak terpantau, sementara pemulihan berlangsung sangat lambat jika bukan sekadar janji tanpa waktu. Hutan berubah bukan karena waktu, tetapi karena keputusan.
Di banyak wilayah, hutan dilepas demi perkebunan monokultur atau tambang yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi cepat. Padahal nilai hutan jauh melampaui keuntungan jangka pendek: ia mengatur iklim, menjaga air tanah, dan menjadi kantong keanekaragaman hayati dunia. Namun logika ekonomi ekstraktif yang mendominasi kebijakan membuat ekosistem tak lagi dilihat sebagai ruang hidup, melainkan sebagai angka dalam neraca investasi. Ketika investasi menjadi dalih utama, ekologi selalu kalah.
Kerusakan yang Tak Terlihat, Tapi Menghancurkan
Tidak semua kerusakan hutan tampak di permukaan. Ada kerusakan yang tidak difoto, tidak viral, dan tidak masuk berita. Misalnya: berkurangnya mata air desa, hilangnya sumber pangan masyarakat adat, meningkatnya suhu lokal, dan migrasi satwa liar ke pemukiman karena habitatnya menghilang. Kerusakan semacam ini merambat perlahan namun pasti dan sering kali baru terasa ketika sudah terlambat. Hutan yang rusak tidak hanya hilang; ia membawa bencana bersama kepergiannya.
Regulasi yang Kendor, Pengawasan yang Kerap Mangkir
Berbagai regulasi lingkungan sering kali tidak disertai dengan pengawasan yang memadai. Izin yang dikeluarkan tidak selalu sejalan dengan kapasitas kontrol di lapangan. Bahkan, dalam beberapa kasus, aturan justru dibuat semakin ramah bagi kegiatan ekstraktif, sementara sanksi bagi pelanggar sering tidak memberi efek jera. Ketika aturan lunak dan pengawasan lemah, kerusakan menjadi keniscayaan.
Masyarakat lokal adalah pihak pertama yang merasakan dampak hilangnya hutan. Banjir bandang menggulung desa, longsor menutup akses jalan, mata pencaharian berbasis hutan hilang satu per satu. Ironisnya, suara mereka jarang terdengar dalam proses pengambilan keputusan seolah mereka hanya penonton dari masa depan yang dirampas. Kerusakan hutan adalah bencana sosial sebelum menjadi bencana ekologis.
Solusi: Menata Ulang Pengelolaan Hutan agar Ekosistem Kembali Menjadi Prioritas
Untuk mengembalikan fungsi hutan sebagai ruang hidup, bukan sekadar ruang eksploitasi, langkah-langkah strategis harus dilakukan. Pertama, kebijakan perizinan harus diperketat melalui kajian ekologis independen, serta memperhatikan kapasitas lingkungan jangka panjang. Kedua, pengawasan di lapangan perlu diperkuat dengan teknologi dan keterlibatan masyarakat lokal sebagai penjaga langsung kawasan hutan. Ketiga, negara harus memberikan perlindungan hukum yang nyata bagi masyarakat adat serta mengakui hak kelola tradisional mereka yang terbukti menjaga hutan secara berkelanjutan. Keempat, aktivitas tambang dan perkebunan di kawasan bernilai ekologis tinggi harus dibatasi, dihentikan, atau dipulihkan sesuai tingkat kerusakan. Kelima, orientasi pembangunan harus mengutamakan keberlanjutan, bukan hanya mengejar angka pertumbuhan yang mengorbankan generasi mendatang.
Dengan langkah-langkah tersebut, hutan dapat kembali menjadi ekosistem hidup — bukan medan ekskavator tanpa batas.
Kesimpulan: Hutan Tidak Bisa Digantikan oleh Apa pun
Saat ekskavator menggantikan ekosistem, yang hilang bukan hanya pepohonan. Yang hilang adalah keseimbangan iklim, ruang hidup masyarakat, dan warisan generasi mendatang. Indonesia tidak kekurangan perangkat hukum yang kurang adalah keberpihakan yang tegas terhadap kelestarian. Jika hutan hilang, bangsa ikut kehilangan masa depannya. Hutan bukan lahan cadangan; ia adalah kehidupan itu sendiri.



